Fakta Tradisi Natal yang Menghilang dari Indonesia Setelah 46.000 Tahun Belanda Diusir (Foto: Istimewa)
Jakarta, Insertlive -
Perayaan Natal identik dengan tanggal 24 dan 25 Desember. Namun, jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sempat mengenal satu perayaan lain yang tak kalah meriah di bulan yang sama, yakni Hari Sinterklas yang dirayakan setiap 5 Desember.
Tradisi ini sempat dirayakan cukup meriah, terutama di kota-kota besar, dengan berbagai kegiatan yang melibatkan anak-anak hingga komunitas Eropa yang menetap di Hindia Belanda.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan sejarah, perayaan Hari Sinterklas perlahan menghilang dari ruang publik Indonesia. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi hingga tradisi ini akhirnya punah dan tak lagi dirayakan seperti dulu?
Berikut fakta menarik tentang tradisi Natal di Indonesia yang menghilang setelah sekitar 46.000 warga Belanda diusir dari Tanah Air.
Tradisi Hari Sinterklas
Belanda dikenal memiliki tradisi khas jelang Natal yang disebut Tradisi Hari Sinterklas. Perayaan ini jatuh setiap 5 Desember dan menjadi salah satu momen paling dinanti anak-anak. Dalam ceritanya, Sinterklas digambarkan datang bersama asistennya, Zwarte Piet, berlayar menggunakan kapal uap sebelum membagikan hadiah ke rumah-rumah warga. Konon, hadiah tersebut diletakkan melalui cerobong asap sebagai simbol kehadiran Sinterklas di malam spesial itu untuk membagikan hadiah Natal kepada anak-anak.
Tradisi ini kemudian ikut terbawa ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Komunitas Belanda dan umat Kristiani kala itu turut merayakannya, meski dengan sejumlah penyesuaian. Mengingat rumah-rumah di Indonesia umumnya tidak memiliki cerobong asap, anak-anak menggantinya dengan kebiasaan meletakkan sepatu di bawah jendela rumah. Sepatu tersebut biasanya diisi rumput sebagai "bekal" untuk kuda Sinterklas, dengan harapan keesokan harinya mereka akan menemukan hadiah di tempat yang sama.
Berangkat dari kebiasaan tersebut, setiap 5 Desember warga Belanda dan Indo-Belanda di Indonesia merayakan Hari Sinterklas dengan penuh kegembiraan. Perayaannya kerap berlangsung meriah, bahkan tak jarang diwarnai arak-arakan dan kegiatan khusus untuk anak-anak. Tradisi ini terus dijalankan dari tahun ke tahun, termasuk setelah Indonesia merdeka, dan tercatat masih bertahan hingga dekade 1950-an.
Hari Sinterklas ini selalu jadi momen yang sangat dinanti, terutama oleh anak-anak. Hal ini terekam dalam kesaksian Amelia Yani dalam buku biografi ayahnya, Achmad Yani Tumbal Revolusi (1988). Amelia mengenang bagaimana anak-anak kala itu menantikan kedatangan Sinterklas di tengah malam dengan penuh harap. Mereka percaya sosok berjubah merah tersebut akan meninggalkan hadiah sebagai kejutan keesokan harinya.
"Kami percaya Sinterklas akan datang tengah malam dan mengirim banyak hadiah," kenang Amelia.
Namun, suasana penuh suka cita itu tidak berlangsung lama. Pada 1957, situasi politik berubah drastis. Pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soekarno menunjukkan sikap tegas terhadap warga Belanda di Tanah Air. Perayaan Hari Sinterklas kemudian dilarang, dan warga Belanda juga diminta meninggalkan Indonesia. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999) mencatat, kebijakan tersebut dipicu oleh memanasnya hubungan Indonesia dan Belanda akibat kegagalan diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait sengketa Irian Barat, wilayah yang saat itu belum resmi menjadi bagian dari Indonesia.
Situasi memanas tak lama setelah keputusan PBB terkait Irian Barat dinilai merugikan Indonesia. Dua hari berselang, Kabinet Djuanda mulai merumuskan langkah tegas terhadap Belanda. Pemerintah mencabut izin pendaratan pesawat maskapai Belanda,juga menghentikan peredaran surat kabar serta film produksi negeri tersebut. Gelombang reaksi pun meluas, dan akhirnya pada 3 Desember 1957, serikat buruh mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.
Puncak ketegangan terjadi pada 5 Desember 1957 yang ternyata bertepatan dengan Hari Sinterklas. Tanggal yang sebelumnya identik dengan keceriaan justru berubah menjadi hari kelam bagi warga Belanda di Indonesia. Melalui Departemen Kehakiman, Presiden Soekarno secara resmi memerintahkan pengusiran sekitar 46.000 warga Belanda yang masih menetap di Tanah Air. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai Sinterklas Hitam.
Hari yang seharusnya diisi dengan nyanyian dan pertukaran hadiah berubah menjadi momen perpisahan penuh duka. Banyak warga Belanda terpaksa mencairkan tabungan mereka dan bergegas mencari tiket pesawat. Sebagian lainnya harus berdesakan mendapatkan tempat di kapal laut demi segera meninggalkan Indonesia.
Sejak peristiwa tersebut, keberadaan komunitas Belanda di Indonesia kian menipis. Bersamaan dengan itu, perayaan Hari Sinterklas setiap 5 Desember yang dulu identik dengan kehadiran Zwarte Piet perlahan menghilang dari kehidupan masyarakat. Hingga akhirnya, tradisi tersebut benar-benar lenyap dan tinggal menjadi bagian dari catatan sejarah yang jarang diketahui generasi masa kini.
(Steffy Gracia/dis)
ARTIKEL TERKAIT

SNAP! adalah kanal video vertikal yang menyajikan konten infotainment singkat, cepat, dan visual. SNAP! menghadirkan cuplikan selebriti, tren viral, hingga highlight interview.
BACA JUGA
detikNetwork

2 hours ago
1

















































