Gurun Sahara Masih Hijau 8.000 Tahun Lalu, Ini Buktinya

6 hours ago 1

Jakarta -

Gurun Sahara, yang kini dikenal karena bentang alamnya yang luas dan gersang, dulunya merupakan wilayah subur yang penuh dengan kehidupan. Sebuah riset terkini yang menganalisis stalagmit dari gua-gua di Maroko selatan telah mengungkap bahwa antara 8.700 dan 4.300 tahun yang lalu, wilayah tersebut mengalami curah hujan yang jauh lebih tinggi, sehingga menciptakan kondisi yang cocok untuk pemukiman manusia dan peternakan.

Stalagmit Ungkap Masa Lalu yang Basah

Para peneliti dari University of Oxford dan Institut National des Sciences de l'Archéologie et du Patrimoine menganalisis stalagmit, formasi batuan yang tumbuh dari lantai gua saat air hujan merembes melalui tanah. Dengan mengukur isotop uranium dan thorium, mereka menentukan kapan formasi ini tumbuh, yang secara efektif menunjukkan periode peningkatan curah hujan.

Hasilnya menegaskan bahwa selama African Humid Period (AHP) atau Periode Lembab Afrika, Sahara menerima curah hujan yang jauh lebih banyak dibandingkan saat ini. Periode ini menyaksikan transformasi gurun menjadi lanskap hijau, mempersempit zona keringnya dan meningkatkan kelayakhunian. Bukti peningkatan ketersediaan air menunjukkan bahwa sungai dan akuifer telah terisi kembali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana Masyarakat Awal Berkembang?

Penemuan Sahara yang lebih hijau bertepatan dengan munculnya situs arkeologi Neolitikum di wilayah selatan Pegunungan Atlas. Permukiman kuno ini berkembang pesat karena kondisi iklim yang mendukung, tetapi menurun saat kondisi kering kembali.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat awal ini adalah penggembala, yang mengandalkan ternak yang bergantung pada curah hujan untuk lahan penggembalaan. Dengan akses yang lebih baik ke sumber air, masyarakat dapat memperluas wilayah mereka, berinteraksi dengan kelompok lain, dan mengembangkan rute perdagangan yang menghubungkan berbagai bagian Afrika.

Gurun yang Dibentuk Oleh Gumpalan Tropis

Para peneliti juga meneliti isotop oksigen di stalagmit untuk menentukan asal muasal hujan. Analisis mereka menunjukkan bahwa uap air diangkut dari daerah tropis melalui gumpalan tropis, formasi awan besar yang membawa udara hangat dan lembap ke utara.

Selain itu, data dari sumber lain menunjukkan bahwa Monsun Afrika Barat menembus lebih dalam ke Sahara selama periode ini. Kombinasi sistem cuaca ini mempersempit gurun, memungkinkan konektivitas yang lebih besar antar wilayah. Kondisi ini mungkin telah memainkan peran penting dalam pengembangan penggunaan lahan, pertanian, dan domestikasi hewan.

Petunjuk Iklim untuk Masa Depan

Penemuan ini memberikan wawasan berharga tentang pola iklim masa lalu, yang membantu para ilmuwan memprediksi perubahan di masa mendatang. Jika gumpalan tropis berkontribusi terhadap curah hujan Sahara ribuan tahun lalu, gumpalan tersebut mungkin masih memengaruhi pola cuaca saat ini. Memahami mekanisme masa lalu ini dapat membantu para peneliti iklim mengantisipasi potensi pergeseran curah hujan yang dapat memengaruhi sumber daya air dan penggurunan di Afrika Utara.

Studi ini juga menyoroti pentingnya catatan iklim regional. Sementara data dari inti sedimen laut memberikan gambaran yang lebih luas, stalagmit menawarkan bukti lokal dari curah hujan masa lalu, yang memungkinkan rekonstruksi perubahan iklim historis yang lebih tepat.

Masa lalu Sahara sebagai lingkungan yang subur dan hijau sangat kontras dengan keadaannya saat ini. Penelitian ini menantang persepsi gurun sebagai lanskap yang permanen dan tidak berubah serta menekankan peran iklim dalam membentuk sejarah manusia.


(rns/fay)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global