Pengusaha Minta Kenaikan Royalti Minerba Ditunda, ESDM Buka Suara

3 days ago 11
Situs Informasi Live Pagi Cermat Terpercaya

Jakarta -

Para pelaku industri mineral dan batu bara (Minerba) mengusulkan pemerintah menunda pemberlakuan kenaikan royalti minerba. Indonesia Mining Association (IMA) meminta aturan kenaikan royalti ditinjau karena akan berdampak langsung pada iklim investasi sekaligus daya saing minerba di tengah semangat hilirisasi.

"Bagi perusahaan pertambangan mineral, peningkatan tarif royalti akan memberatkan karena biaya operasional tinggi karena kenaikan biaya biosolar yang dapat berdampak signifikan. Selain itu ada pula kenaikan PPN 12 persen, pengenaan kewajiban data retensi hasil ekspor sebesar 100 persen selama 12 bulan yang meningkatkan utang dan bunga," kata Ketua Umum IMA, Rachmat Makkasau dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/3/2025).

Para pelaku industri minerba juga kini tengah berinvestasi besar pada pembangunan smelter sebagai bagian dari hilirisasi. Investasi itu menyedot dana yang besar dan berdampak pada dibukanya ribuan lapangan kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikarenakan smelter dalam tahap awal dan baru akan menghasilkan dalam tempo dua atau tiga tahun, pelaku usaha berharap jangan dibebani kenaikan royalti yang akan memperberat arus kas. Senada, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) juga mengusulkan penundaan pemberlakuan kenaikan royalti nikel.

Ini tak terlepas dari kenyataan berat yang dihadapi industri nikel yang kini harga jualnya di pasar internasional sedang jatuh ke titik terendah sejak 2020. Sebagai mitra pemerintah, FINI pun berkomitmen untuk menyukseskan hilirisasi nikel dan turunannya.

FINI memaparkan sejumlah tantangan berat seperti harga yang sedang jatuh plus tantangan berat akibat perang dagang Cina-Amerika. FINI memandang penundaan pemberlakuan kenaikan royalti akan menjadi insentif berharga untuk mendukung tetap eksisnya industri nikel dalam negeri di tengah tantangan global.

"Untuk menjaga iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi nikel Indonesia di tengah situasi dunia yang tidak menentu, kami mengusulkan agar kenaikan royalti tidak dilakukan pada saat ini," ujar Ketua Umum FINI, Alexander Barus.

FINI memandang dukungan pemerintah dengan menunda pemberlakuan kenaikan royalti akan menimbulkan multiplier effect yang positif. Selain mempertahankan iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi, sehatnya industri nikel juga akan memberi sumbangsih berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang maksimal.

"Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan PNBP sub sektor mineral dan batu bara dengan mempertimbangkan tantangan saat ini maka solusinya yaitu dengan memberlakukan tarif royalti saat ini termasuk royalti batu bara IUPK dan PKP2B," ujar Alexander.

Sebagai mitra pemerintah, FINI siap berdiskusi dengan seluruh pemangku kepentingan guna mendukung industri nikel tetap eksis. FINI pun optimistis dengan sinergi pelaku usaha bersama pemerintah akan semakin mendorong daya saing hilirisasi nikel Indonesia.

Pemerintah sendiri tengah menyelesaikan penyusunan draf peraturan pemerintah (PP) yang akan mengatur kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba). Aturan ini dinilai pelaku usaha keluar di saat yang sulit karena tantangan global dan harga komoditi yang sedang jatuh.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pihaknya sudah melakukan rapat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Sekretariat Negara untuk membahas hal tersebut. Namun ia membantah kenaikan royalti berlaku pada 15 Maret 2025.

Ia menjelaskan, latar belakang di balik rencana pemerintah menaikkan royalti adalah karena turunnya harga sejumlah komoditas mineral di pasar global. Salah satu komoditas yang dimaksud adalah batu bara.

"Latar belakang itu kan yang tadinya kan harga batubara itu kan sampai di atas US$ 300 per ton. Tapi sekarang kan harga batubara yang kalori di atas 6.000 itu kan terjadi penurunan," ujarnya di Kementerian ESDM.

Imbas penurunan harga maka terjadi peningkatan produksi yang berpengaruh pada penurunan pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Jadi kita melihat keseimbangan antara biaya produksi dengan bagaimana penerimaan negara. Sehingga tetap win-win, pelaku usaha tetap ada kepastian perusahaannya," tutupnya.

(ily/eds)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global