Deretan Raja Indonesia dengan Selir Terbanyak, Ada yang Sampai 151 Istri (Foto: Dok. Wikipedia)
Jakarta, Insertlive -
Di balik sejarah panjang kerajaan-kerajaan Nusantara, ada banyak kisah menarik yang jarang dibahas, salah satunya soal kehidupan pribadi para raja.
Selain dikenal sebagai pemimpin yang berpengaruh, sejumlah raja di Indonesia juga tercatat memiliki selir dalam jumlah yang tidak sedikit, bahkan ada yang mencapai ratusan.
Bagi Insertizen yang penasaran, berikut deretan raja Indonesia yang dikenal memiliki jumlah selir terbanyak sepanjang sejarah.
1. Prabu Brawijaya V
Prabu Brawijaya V dikenal sebagai raja terakhir Majapahit yang menjabat dari 1468 hingga 1478. Ia dikenal sebagai raja yang memiliki ratusan istri dan selir selama hidupnya, sebuah hal yang dianggap lumrah untuk raja besar pada masa itu.
Menariknya, Brawijaya V dikenal mampu menjaga keharmonisan para istri dan selirnya meski berasal dari latar agama dan budaya yang berbeda. Nama asli Prabu Brawijaya V adalah Bhre Kertabhumi, dan ia dikenal sebagai pemimpin yang cukup toleran terhadap keyakinan keluarganya.
Diketahui, ia memiliki tiga istri. Salah satu yang paling dikenal adalah Siu Ban Ci atau Tan Eng Kian, putri pedagang Tionghoa yang kemudian melahirkan Raden Patah, sang pendiri Kesultanan Demak. Di Majapahit, Siu Ban Ci dikenal dengan sebutan Putri China.
Namun, kisah Siu Ban Ci tidak selalu mulus. Ia diusir oleh istri ketiga Brawijaya V karena tidak menerima dimadu. Saat mengandung, ia dikirim ke Palembang dan dititipkan kepada Arya Damar sebelum akhirnya melahirkan Raden Patah yang kelak melawan Majapahit.
Istri kedua Brawijaya V adalah putri yang sangat cantik dari Kerajaan Champa bernama Amaravati atau Dewi Dwarawati. Ia adalah permaisuri beragama Islam yang sangat dihormati. Karena berasal dari Champa, Amaravati dikenal dengan sebutan Putri Campa dalam ejaan jawa.
Ia melahirkan Retno Pembayun dan Bathara Katong, tokoh penyebar Islam di Ponorogo. Putri Campa juga memiliki putra bernama Bathara Katong, yang merupakan penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebar agama Islam di Ponorogo.
Istri ketiga Brawijaya V adalah Bondrit Cemara atau Wandan Kuning, seorang pelayan istana yang dinikahi karena wangsit yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit berat sang raja. Ia melahirkan Bondan Kejawan yang kelak menjadi leluhur tokoh-tokoh penting dalam Babad Tanah Jawi.
Prabu Brawijaya V adalah penganut Buddha yang dikenal gagah, tetapi tidak berhasil menyatukan Majapahit di akhir masa kejayaannya.
2. Sultan Agung
Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah raja ketiga Kesultanan Mataram yang berkuasa dari 1613 hingga 1645. Ia dikenal sebagai raja visioner yang berhasil memperluas kekuasaan Mataram hampir ke seluruh Jawa. Sultan Agung memiliki dua permaisuri dan sekitar 40 selir yang turut memperkuat jaringan politik dan aliansi kerajaan.
Permaisuri pertamanya, Ratu Kulon, adalah putri Sultan Cirebon dan dinikahi untuk mempererat hubungan antar-kerajaan Islam. Pernikahan ini memperkuat hubungan antara Mataram dan Cirebon, dua kekuatan penting dalam dunia Islam Jawa. Dari Ratu Kulon lahir Pangeran Alit, calon pewaris tahta yang kemudian gagal naik karena konflik internal istana.
Permaisuri kedua, Ratu Wetan, adalah putri dari Adipati Batang dan cucu Ki Juru Martani. Ia adalah sosok yang cukup berpengaruh pada masa itu. Dari Ratu Wetan lahirlah Raden Mas Sayyidin yang kelak menjadi Amangkurat I, raja Mataram yang naik setelah wafatnya Sultan Agung. Tidak seperti Ratu Kulon, Ratu Wetan hidup cukup lama hingga menyaksikan masa pemerintahan putra dan cucunya.
Selain kedua permaisuri tersebut, Sultan Agung tercatat memiliki sekitar 40 selir, seperti Mas Ayu Wangen, Mas Ayu Sekarrini, Mas Ayu Sulanjari, Mas Ayu Sulanjani, Raden Ayu Kadipaten, Rara Pilih, dan Rara Sariyah. Mereka bukan hanya berasal dari kalangan bangsawan, tetapi juga dari keluarga pejabat daerah dan tokoh berpengaruh lain di wilayah kekuasaan Mataram.
Dari para selir ini, Sultan Agung memiliki sekitar 12 anak tambahan yang peran dan kisahnya tersebar di berbagai catatan sejarah Jawa. Salah satu yang paling dikenal adalah Pangeran Purbaya, tokoh yang kelak identik dengan berbagai pemberontakan dan dinamika politik setelah wafatnya sang raja.
3. Pakubuwono X
Pakubuwono X adalah raja Surakarta dengan masa pemerintahan paling panjang, yaitu 46 tahun dari 1893 hingga 1939. Dalam banyak catatan sejarah, ia dikenal sebagai raja yang modern dan membawa banyak pembaruan, khususnya dalam bidang budaya dan pembangunan fasilitas umum.
Tercatat, Pakubuwono X memiliki 2 permaisuri dan 39 selir, dengan total 63 anak. Permaisuri-permaisurinya adalah GKR Pakubuwono (putri Mangkunagara IV) dan GKR Hemas (putri Hamengkubuwono VII). Menariknya, tidak ada satupun dari kedua permaisuri tersebut yang memberinya keturunan, sehingga seluruh anaknya berasal dari selirnya.
Meski memiliki banyak istri, Pakubuwono X dikenal sebagai pemimpin yang tenang, berwibawa, dan cukup adaptif terhadap perkembangan zaman.
4. Sri Baduga Maharaja / Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi, atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja, memerintah Kerajaan Pajajaran dari 1482 hingga 1521. Ia adalah sosok raja yang sangat dihormati karena kepemimpinannya yang bijaksana, karismatik, dan tegas. Kisah hidupnya juga diisi banyak legenda, termasuk soal jumlah istri dan selirnya.
Dicatat dalam buku Babad Pakuan atau Babad Pajajaran II (1977), Prabu Siliwangi disebut memiliki hingga 151 istri dan selir. Jumlah ini menjadi salah satu yang terbanyak dalam sejarah raja Nusantara.
Salah satu istri yang paling dikenal adalah Nyai Ambetkasih atau Nyai Rambut Kasih, sosok perempuan cantik dan pemberani, yang melahirkan Prabu Surawisesa. Selain itu, ia juga menikahi Nyai Subang Larang, seorang wanita Muslim yang melahirkan Sunan Gunung Jati, tokoh penting penyebaran Islam di Jawa Barat.
Dari berbagai selirnya, Sri Baduga Maharaja memiliki 9 anak, termasuk Ratu Mas Giri Kencana yang kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Melihat kembali perjalanan para raja Nusantara, jelas bahwa memiliki banyak istri bukan sekadar urusan pribadi, tetapi bagian dari strategi dan budaya di zamannya. Dari kebutuhan politik untuk memperkuat aliansi, status sosial yang menunjukkan kemakmuran, sampai faktor religi yang saat itu membolehkan poligami, semuanya beriringan dengan kebutuhan kerajaan.
(Steffy Gracia/arm)
Tonton juga video berikut:

4 hours ago
2
















































