Kemenperin Ogah Bayar Vendor di Kasus SPK Palsu, Ini Alasannya

4 weeks ago 44

Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan kabar terkini kasus Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif yang dilakukan eks PNS Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenperin berinisial LHS. Kemenperin berencana melaporkan kasus dugaan SPK fiktif ini ke aparat penegak hukum.

Pada Mei 2024, Kemenperin melaporkan nilai SPK fiktif mencapai Rp 80 miliar. Namun angkanya berpotensi meningkat mengingat oknum LHS masih mengeluarkan SPK fiktif beberapa bulan setelah laporan tersebut.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menyatakan, pihaknya bakal menggunakan kasus LHS untuk bersih-bersih praktek korupsi di Kemenperin. Ia percaya Kemenperin berada di posisi yang benar dalam kasus ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami yakin bahwa kami dalam posisi yang benar menurut hukum dan kami merencanakan menggunakan kasus hukum ini untuk membersihkan Kementerian Perindustrian dari praktik korupsi, khususnya dalam pengelolaan anggaran di Kementerian Perindustrian. Dan yang paling penting juga adalah kami akan berencana melaporkan kasus ini ke penegak hukum besok," bebernya di Kantor Kemenperin, Senin (10/2/2025).

"Ada tiga indikasi yang kami lihat. Pertama adalah penipuan, yang kedua indikasi penggelapan, dan yang ketiga adalah indikasi penyuapan. Kami selalu menyatakan dalam konferensi press dan rilis kami bahwa kasus ini adalah kasus SPK fiktif dan bukan kasus proyek fiktif," sambung Febri.

Pada kesempatan itu, Febri menyebut Kemenperin tidak akan membayar dana, baik yang sudah diberikan oleh vendor kepada LHS maupun dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang didasarkan pada SPK fiktif. Alasannya, pertama dana yang sdh diberikan pada LHS atau digunakan untuk kegiatan didasarkan pada SPK fiktif

Kedua, kesalahan vendor yang tidak cermat memeriksa SPK fiktif sehingga mereka dirugikan. Menurutnya apabila Kemenperin membayar dana tersebut berdasarkan SPK fiktif dalam bentuk kegiatan anggaran tahun 2025 maka hal tersebut merupakan perbuatan berindikasi pidana korupsi. Karena anggaran tahun 2025 tidak digunakan sesuai peruntukannya.

"Kalau kami kemudian diminta untuk membayar kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan SPK fiktif ini, dari mana kami akan membayar? Kami tidak akan mungkin membayar kegiatan yang ilegal. Kalau kami membayar kegiatan ilegal, kami bisa dijerat kasus pidana korupsi juga dong," terang Febri.

Ia menyatakan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan tidak terpengaruh oleh gertakan dari pihak-pihak tertentu, termasuk melalui media massa, yang bertujuan meminta Kemenperin untuk melakukan pembayaran.

Sebagai informasi, istri dari oknum mantan ASN tersebut juga memiliki istri yang bekerja sebagai ASN di Kemenperin. Terhadap istri LHS juga sedang dipertimbangkan penambahan hukuman disiplin. Sebelumnya, istri dari LHS telah dikenai hukuman disiplin berupa penurunan pangkat.

Febri menambahkan, modus yang dilakukan LHS mirip dengan skema ponzi. LHS menerbitkan SPK untuk sebuah kegiatan, lalu menerima uang dari beberapa vendor untuk membiayai kegiatan tersebut.

"Yang mengerjakan kegiatan ini sebagian PPK dan anak buahnya. Vendor menyerahkan duit ke PPK. Di mana-mana di Kementerian/Lembaga yang melaksanakan pekerjaan swakelola adalah vendor. Vendor tak boleh setor uang ke PPK, aturannya gitu," terang Febri.

Soal SPK Fiktif Jerat Vendor

Di kasus ini sebagian vendor menyerahkan uang ke PPK dalam bentuk transfer maupun cash. Febri menyebut hal itu menyalahi aturan dan patut diduga terindikasi pidana penyuapan.

Selanjutnya setelah SPK pertama diterbitkan, LHS lalu membuat SPK fiktif baru dan diterbitkan ke vendor lainnya. Saat vendor kedua melakukan pembayaran lalu uangnya digunakan untuk membayar vendor pertama. Hal ini terus dilakukan sampai akhirnya muncul vendor-vendor yang tidak terbayar.

Menurut Febri, salah satu ciri SPK fiktif dapat diketahui dari nomenklatur anggaran di dalamnya yang tidak tercantum di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan DIPA Kemenperin. Ia menegaskan Kemenperin tidak mungkin melaksanakan kegiatan yang tidak ada nomenklatur anggarannya.

Kemudian beberapa SPK juga bernilai di atas Rp 200 juta. Febri menyatakan SPK yang nilainya di atas Rp 200 juta tidak bisa melalui penunjukkan langsung dan harus melalui proses lelang. Saat ini LHS berstatus buron atas laporan yang telah dilayangkan oleh vendor.

"Menurut informasi yang kami miliki, yang kami peroleh, status kasus berada pada tahap penyidikan. Di mana oknum ASN tersebut sudah menjadi tersangka dan menjadi buron, DPO (Daftar Pencarian Orang)," tutupnya.

(ily/hns)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global