Jakarta -
Oplos dalam pengertian blending yang legal terjadi melalui proses kilang. Semua produk BBM hasil kilang, boleh dikata, terjamin mutu dan kualitasnya. Saya kira, masyarakat tidak perlu khawatir.
Angka RON yang diterbitkan kilang adalah produk dari proses saintifik yang 'suci.' Peluang manipulasinya rendah sekali. Kasus yang tengah disidik Kejaksaan Agung adalah 'oplos' di luar kilang.
Pertanyaannya, di mana skandal itu dilakukan? TBBM atau depo, dengan fasilitas blending unit, bisa melakukan 'oplos' dengan spesifikasi tertentu. TBBM Sambu dan Tanjung Uban, misalnya, bisa mem-blending HSD dan mogas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya adalah diesel dan gasoline dengan spesifikasi tertentu. Ini proses legal. Jika dilakukan sesuai kaidah keteknikan, tidak ada masalah hukum.
Masalah hukum terjadi karena oplos ternyata dilakukan di luar TBBM Pertamina. Di mana itu terjadi? Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap blending dilakukan di TBBM Cilegon milik PT Orbit Terminal Merak.
Storage milik Kerry Andrianto ini punya 21 tanki penyimpanan dan 2 bunker. Kerry adalah anak Riza Chalid, pebisnis kondang trading minyak. Kerry juga mengendalikan, sebagai beneficial owner, PT Jenggala Maritim Nusantara (JMN) dan PT Navigator Khatulistiwa (NK) yang bergerak di bidang transportasi migas.
Semuanya kini sudah tersangka. Bersama dengan sejumlah pejabat Pertamina, mereka berkomplot melakukan importase minyak, dengan vessel milik mereka dan diolah di TBBM mereka. Semuanya dengan harga mark-up.
Dalam konstruksi hukum Kejagung, praktik lancung ini setidaknya sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir. Kejakgung menyebut modusnya adalah impor RON 90 dengan harga RON 92.
Lalu dilakukan blending antara RON 88 dan RON 92 sehingga menghasilkan RON 92. Ada dua soal mengganjal. Pertama terkait sumber impor. Kedua terkait formulasi blending.
Berdasarkan pernyataan Kejagung, jenis BBM yang diimpor adalah RON 90. Pertanyaannya, dari mana sumber impor BBM itu? Hanya sedikit kilang di dunia yang menghasilkan BBM RON 90.
Lanjut ke halaman berikutnya
Berdasarkan data BPS, pada 2023, impor minyak dan produk kilang Indonesia mencapai 1.047 ribu barel per hari (bph). Seprempatnya (25%) berasal dari Singapore, 13% dari Malaysia, 12% dari Nigeria, 10% dari Arab Saudi, dan sisanya (38%) dari negara-negara lain.
Standar emisi Singapore sudah Euro 5 dan 6. Standar emisi Malaysia Euro 4 dan 5. Indonesia baru akan menerapkan standar Euro 4 pada akhir 2027. Setelah resmi menghapus premium pada Januari 2023, bensin paling rendah adalah RON 90 (Pertalite).
Jenis ini semakin sulit beredar di spot market. Kilang Singapore sudah tidak memproduksi BBM RON 90, termasuk kilang Shell di Pulau Bukom yang diakuisisi Chandra Asri Pacific. Kilang Malaysia juga tidak lagi memproduksi RON 90.
Mungkin kilang China dan India yang masih menghasilkan BBM RON 90 ke bawah. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, RON 90 yang diimpor oleh Pertamina Patra Niaga adalah produk blending dari para trader di Singapore, bukan produk kilang.
Kalau dugaan ini benar, sebagian produk BBM yang beredar adalah produk dua kali blending di luar kilang. Blending pertama oleh para trader di Singapore. Blending kedua oleh broker yang sekarang ditindak oleh Kejakgung. Tentu saja, kualitas blending di luar kilang jauh lebih rendah.
Kedua, Kejakgung menyebut modus berikutnya adalah blending antara RON 88 dan RON 92 sehingga menghasilkan RON 92. Ini membingungkan.
Sebelumnya disebutkan yang diimpor adalah RON 90. Tetapi, bahan baku blending-nya justru RON 88. Produk ini lebih langka lagi. Bahkan, semua kilang di Indonesia, kecuali Kasim, sudah tidak memproduksi RON 88.
Lalu, dari mana lagi sumber BBM itu? Keanehan berikutnya adalah blending RON 88 dan RON 92 untuk menghasilkan RON 92. Secara saintifik, komposisi ini tidak masuk akal.
Untuk menghasilkan angka 92, komposisi yang mungkin adalah blending RON 90 dan HOMC 95, dengan formulasi: 60% RON 90 + 40% HOMC 95. Kalau informasi yang disampaikan Kejagung benar, oplos RON 88 dan HOMC 92 tidak akan menghasilkan BBM kualitas Pertamax.
Dengan rumus 60% 92 + 40% 88, hasilnya adalah 90,4. Ini kualitas Pertalite. Kalau kemudian dijual dengan harga Pertamax, ini jelas praktik lancung yang merugikan negara dan konsumen. Mereka patut dihukum seberat-beratnya.
M. Kholid Syeirazi
Direktur Eksekutif Center for Energy Policy
Simak Video "Video: Kata Kejagung soal Prabowo Ingin Koruptor Ratusan Triliun Divonis 50 Tahun"
[Gambas:Video 20detik]