Asosiasi Kritisi Rencana Penyeragaman Bungkus Rokok

1 week ago 17

Jakarta -

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) kritisi rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek atau plain packaging dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Kebijakan ini dinilai telah memicu polemik dari berbagai pihak. Pasalnya kebijakan ini akan menyeragamkan semua desain kemasan rokok, termasuk ukuran, huruf, warna, hingga tata letak penempatan merek produsen.

Selain itu, aturan tersebut juga mengatur jenis tulisan yang diwajibkan menggunakan Arial dan warna kemasan rokok disamakan dengan kode warna Pantone 448C.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi mengatakan, kebijakan ini menghilangkan identitas produk lantaran semua kemasan dibuat atur seragam. Menurutnya, aturan ini justru merujuk pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang digunakan banyak negara non-produsen dalam membuat regulasi kebijakan produk tembakau.

Padahal, Indonesia tidak meratifikasi perjanjian internasional tersebut. "Penyeragaman kemasan rokok ini sebenarnya diperkirakan Kemenkes melihat FCTC yang tidak diratifikasi pemerintah Indonesia, maka ini tidak punya dasar," kata Benny dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/3/2025).

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.71/PUU-XI/2013, Benny menegaskan produk tembakau adalah produk legal di Indonesia. Alih-alih memiliki hak promosi dan iklan, Benny mengatakan aturan ini justru menempatkan rokok sebagai produk ilegal.

Benny menegaskan, aturan ini merusak hak konsumen menerima informasi yang tepat terkait produk serta kebebasan untuk memilih preferensinya. Ia mengingatkan Kemenkes tidak gegabah memutuskan aturan.

Pasalnya, ada beberapa Undang-undang (UU) yang besar kemungkinan dilanggar aturan tersebut, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

"Kebijakan ini akan merampas produsen atas merek dagangnya, hak cipta yang menjadi bagian dari kemasan tersebut, serta reputasi baik yang telah dibangun oleh produsen dan merek dagangnya selama puluhan tahun," jelasnya.

Benny mengatakan, aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga merusak kemampuan produsen untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa. Pada kondisi tertentu, aturan ini akan menyulitkan industri untuk membedakan produk yang dijual ke konsumen.

Selain itu, aturan ini berpeluang meningkatkan peredaran rokok ilegal. Dengan kemasan yang seragam, tidak ada pembeda antara rokok legal dan ilegal lantaran hilangnya identitas merek.

Akibatnya, penjualan rokok legal menurun yang pada akhirnya akan mengorbankan pekerja, petani tembakau, peritel, dan industri kreatif.

"Kebijakan ini merupakan kesempatan bagi para pelaku rokok ilegal, karena dengan adanya standardisasi (penyeragaman) warna, bentuk, dan jenis huruf yang ditentukan, akan sangat mudah bagi produsen ilegal membuat tiruan dari merek rokok legal," imbuhnya.

Lebih lanjut, Benny mengingatkan, maraknya rokok ilegal bukan saja merugikan industri tembakau, tetapi juga berdampak pada tidak tercapainya kebijakan pengendalian tembakau dan penerimaan negara.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kontribusi industri tembakau mencapai 4,22% dari Produk Domestik Bruto. Pada tahun 2024, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp216,9 triliun atau setara 72 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.

"Ketidakmampuan menggunakan merek secara penuh akan menyulitkan industri untuk membedakan produknya dari yang lain ke konsumen. Akibatnya, akan sangat sulit bagi produk baru maupun pelaku industri yang lebih kecil atau menengah untuk memperkenalkan produknya, sehingga sulit untuk bisa bersaing," ujar dia.

(kil/kil)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global