Jakarta -
Pedagang kecil memprotes Rancangan Peraturan Kesehatan (R-Permenkes) sebagai peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO) Anang Zunaedi mengatakan aturan itu tidak hanya menurunkan pendapatan, tetapi dapat membuat pedagang gulung tikar.
Salah satu aturan yang diprotes larangan jualan rokok dengan jarak 200 meter dari wilayah Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pihaknya menyayangkan bahwa di tengah kondisi perlambatan ekonomi saat ini, justru semakin kencang dorongan untuk mengimplementasikan regulasi yang menyulitkan masyarakat.
"Kami sejak awal menolak tegas PP Kesehatan dan aturan teknisnya dalam Rancangan Permenkes karena memberatkan membatasi gerak pedagang. Pemerintah tolong lah lihat realita di masyarakat. Bagi pedagang kecil, semua peraturan ini memberatkan sekali. Ini bukan sekadar soal kehilangan pendapatan, tapi ancaman tutup usaha, ekonomi keluarga dan masyarakat hancur. Ujungnya bisa lahir konflik sosial ," ujar Anang dalam keterangannya, dikutip Selasa (8/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya meminta pemerintah berhenti melakukan pembahasan aturan yang memberatkan masyarakat. Apalagi, saat ini daya beli masyarakat telah menurun. Jika aturan itu tetap berlaku, imbasnya akan bertambah besar kepada pedagang.
"Bukan stuck lagi, tapi perlambatan ekonomi nyata terjadi. Lihat saja saat jelang peak season kali ini, tidak kelihatan denyut daya beli masyarakat. Kalau masih ada dorongan peraturan eksesif ini, pedagang yang selama ini kerja mandiri, tidak merepotkan pemerintah, kok justru mau dimatikan keberlangsungan usahanya?" terang Anang.
Untuk diketahui, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun Rancangan Peraturan Kesehatan (R-Permenkes) sebagai peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024. Penyusunan diduga berlandaskan dari pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Contorl (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mendorong diterapkannya kemasan rokok tanpa identitas merek di Indonesia.
Akademisi Fisipol Universitas Negeri Surabaya, Firre An Suprapto mengingatkan bahwa Kemenkes tidak bisa serta-merta mengadopsi FCTC dalam penyusunan regulasi di Indonesia, terlebih Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut.
"Kemenkes sebagai inisiator yang mendorong penerapan peraturan tersebut harus berkaca bahwa Indonesia belum meratifikasi FCTC sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum atau peraturan perundangan nasional. Hal ini perlu dilihat dari berbagai sisi. Perlindungan kesehatan juga perlu mempertimbangkan sisi ekonomi, sosial dan lainnya," ujar Firre.
Ia juga mengingatkan bahwa ada pihak yang terdampak dari regulasi yang mengekang sehingga pembuat kebijakan harus melibatkan banyak pihak. Firre mengingatkan penyusunan sebuah regulasi harus sejalan dengan amanat Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab II Pasal 2.
Aturan itu berisi pelaksana kebijakan yang dapat menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah.
"Termasuk terkait peraturan daerah (Perda) yang ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan (Lex superiori derogat legi inferiori). Di samping itu, Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda," pungkas Firre.
(ada/ara)