Jakarta -
Kebijakan baru yang diusulkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dinilai akan berdampak buruk bagi pedagang pasar di Indonesia.
Pedagang khawatir bahwa aturan ini, ditambah dengan regulasi zonasi penjualan rokok dalam radius 200 meter dari area pendidikan dan tempat bermain anak yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, dapat mengancam kelangsungan usaha mereka.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman, menilai bahwa penyeragaman kemasan rokok tanpa merek tidak akan efektif menurunkan jumlah perokok, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Menurutnya, yang lebih penting adalah edukasi yang menyeluruh, terutama kepada generasi muda yang lebih rentan terpengaruh untuk merokok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kesadaran akan dampak buruk rokok terhadap kesehatan perlu ditanamkan, terutama kepada perokok di bawah umur yang seringkali masih bergantung pada uang orang tua untuk membeli rokok," ujar Mujiburrohman di Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Pedagang pasar pun menyatakan kesiapan mereka untuk mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi prevalensi perokok anak dengan cara memasang stiker "21+" di toko-toko mereka dan memberikan edukasi kepada konsumen. "Kami siap mendukung upaya pemerintah, dan jika pedagang pasar dilibatkan, kami akan dengan senang hati berpartisipasi," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro, juga mengkritik keras kebijakan penyeragaman kemasan rokok yang tanpa merek. Menurutnya, hal ini justru akan menyulitkan pedagang dan konsumen. Banyak konsumen yang sudah memiliki preferensi terhadap merek rokok tertentu, dan tanpa identitas merek, pedagang akan kesulitan memenuhi permintaan pembeli.
"Penyeragaman kemasan tanpa merek akan menyulitkan pedagang dalam menyediakan produk yang diminta oleh konsumen. Ini akan berdampak langsung pada penurunan omzet," ujar Suhendro, yang juga menyoroti potensi gangguan terhadap daya tarik pasar yang selama ini bergantung pada produk rokok sebagai salah satu daya tarik utama.
Di samping itu, aturan zonasi penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak, yang termaktub dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, juga mendapat sorotan dari kalangan pedagang pasar. Suhendro mengatakan kebijakan ini berpotensi merugikan pedagang karena rokok adalah salah satu produk fast moving yang banyak dicari konsumen.
"Jika aturan zonasi ini diterapkan, pedagang bisa menghadapi dampak besar, bahkan ada kemungkinan akan terjadi protes dan demo dari kalangan pedagang," tegasnya. Suhendro mengkritik pemerintah yang dianggap terlalu meniru kebijakan luar negeri tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia.
"Pemerintah harus lebih fokus pada edukasi daripada membatasi penjualan rokok yang justru merugikan pedagang kecil. Kebijakan ini terkesan mengada-ada dan tidak menyentuh akar permasalahan," lanjutnya.
Menyikapi kebijakan pemerintah untuk menekan prevalensi perokok anak, Suhendro menegaskan pentingnya edukasi yang lebih menyeluruh. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memasang stiker larangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur 21 tahun. Menurutnya, edukasi yang baik akan lebih efektif dalam menekan angka perokok muda.
Suhendro berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan penyeragaman kemasan rokok dan aturan zonasi yang dapat merugikan pedagang pasar.
"Kami meminta agar pemerintah lebih bijaksana dalam membuat kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang diterapkan justru menyulitkan pedagang kecil dan masyarakat," tutup Suhendro.
Simak juga Video: 7.199 Rokok Ilegal Disita dari 210 Toko Kelontong di Lumajang
(rrd/rir)