Jakarta -
Majelis hakim pengadilan tinggi memperberat vonis hukuman para pelaku tindak pidana korupsi mulai dari Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Vahlevi, Harvei Moeis hingga Helena Lim.
Untuk Riza Vahlevi divonis hukuman 20 tahun penjara dari sebelumnya hanya 8 tahun penjara, Harvei divonis 20 tahun penjara dari sebelumnya 6,5 tahun penjara, dan Helena Lim divonis divonis 10 tahun penjara dari sebelumnya 5 tahun penjara.
Namun, pandangan berbeda disampaikan Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjajaran serta perancang undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Romli Atmasasmita menyebut putusan banding terhadap Harvey Moeis dan Helena Lim yang lebih berat dari vonis sebelumnya sebagai miscarriage of justice. Hal ini mengingat sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh majelis hakim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak terbukti suap dan tidak terbukti gratifikasi. Kerugian negara dalam putusan pengadilan bukan kerugian nyata (actual loss), namun hukuman Harvey Moeis justru diberatkan menjadi 20 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp420 miliar. Ini tidak tepat," tegas Romli, Jumat (14/2/205).
Romli menegaskan, uang pengganti Rp420 miliar yang dibebankan kepada Harvey Moeis tidak dilengkapi dengan bukti yang sah.
"Uang pengganti tersebut terbukti tidak diterima oleh Harvey Moeis. Nilai Rp420 miliar juga tidak didukung oleh bukti yang kuat," ujarnya.
Selain itu, dakwaan pemufakatan jahat antara Harvey Moeis dan terdakwa lain juga dinilai tidak terbukti selama persidangan.
"Dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini secara normatif berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 bukanlah tindak pidana korupsi. Pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi," jelas Romli.
Hukuman terhadap Harvey Moeis dinilai tidak proporsional. Hukuman penjara yang awalnya 6,5 tahun naik menjadi 20 tahun, sementara uang pengganti dari Rp210 miliar melonjak menjadi Rp420 miliar.
"Ini menunjukkan bahwa Harvey Moeis dianggap sebagai aktor intelektual, padahal fakta persidangan membuktikan sebaliknya," tegas Romli.
Menurutnya, Harvey Moeis sendiri bukanlah penyelenggara negara maupun direksi PT Timah. Ia hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar melainkan warisan turun-temurun.
"Harvey Moeis dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP), padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," tambah Romli.
Sementara itu, Helena Lim yang hanya berperan sebagai pengusaha money changer dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp 900 juta.
"Helena dan Harvey Moeis sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp317 triliun. Kerugian tersebut hanya berdasarkan perkiraan BPKP yang bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara," papar Romli.
Di sisi lain, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono menilai kasus ini seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
"Kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan. Penyelesaian yang tepat adalah melalui gugatan perdata, bukan Tipikor," ujar Yoni.
Menurut Yoni, UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap subjek hukum lain, termasuk warga negara dan badan hukum.
"Ini pertama kalinya pemerintah memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perdata. Hitungan kerugiannya pun sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014," jelasnya.
Yoni menjelaskan, jika tujuannya adalah untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah ini, jalur perdata lebih memungkinkan.
Terlebih jika nilai kerugian negara masih belum jelas dan masih diperdebatkan. "Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru. Jangankan (divonis) 20 tahun, hukuman 6,5 tahun (Harvey Moeis) pun tidak tepat," tegasnya.
Yoni menyarankan agar upaya hukum lanjutan dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA).
"MA masih bisa membatalkan putusan ini jika melihat secara utuh dari memori kasasi. Jika pelanggaran lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," ujarnya.
Dia pun mengatakan, dengan jalur perdata benang kusut kasus ini dapat diurai hingga menemukan siapa seharusnya yang bertanggung jawab atas kerugian lingkungan yang timbul atas aktivitas pertambangan itu.
"Perdata bisa melibatkan semua pihak, baik pemilik lama (perusahaan) maupun baru. Ini lebih adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku," pungkas Yoni.
(rrd/rir)