Jakarta -
Cuaca panas dan pengap yang mengepung Jakarta dalam beberapa hari terakhir mengganggu aktivitas banyak orang, tak terkecuali Gizka (30), pekerja kantoran yang merantau dari tanah kelahirannya di Sumatera. Air dingin saja tak cukup buatnya untuk nyaman beraktivitas di luar ruangan dengan kondisi udara yang panas dan berbau.
Buat Gizka, langit biru Jakarta kini bak mitos yang hanya ada pada cerita masa lalu. Baginya, keramaian yang menjadi penanda besarnya ukuran ekonomi Jakarta tak cukup memberikan kepastian akan masa depan.
"Kalau lihat langit biru tuh kayak luar biasa gitu. Padahal kan itu harusnya hal yang biasa saja. Seharusnya semua berhak mendapatkan langit biru" katanya saat berbincang dengan detikcom.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekhawatiran Gizka soal polusi udara dan masa depan sesungguhnya bukan hanya dirasakannya sendiri. Seisi dunia juga tengah berusaha mengembalikan langit biru yang dirindukan banyak orang tersebut.
Laporan Indonesia's Pathway to Net Zero 2060 dari Kearney mencatat, sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Investasi yang tepat sasaran dibutuhkan demi menciptakan masa depan Indonesia yang lebih ramah lingkungan dan resilien.
Polusi udara DKI Jakarta dalam beberapa waktu terakhir memang begitu parah. Warga pun kembali memakai masker saat beraktivitas di luar ruangan. Foto: Ari Saputra
BBM Ramah Lingkungan
Sekitar 380 km dari Jakarta, sebuah unit pengelolaan minyak terbesar di Indonesia tengah sibuk memproduksi bahan bakar yang akan dipakai jutaan masyarakat menggerakkan roda ekonominya. Di pesisir Jawa yang menghadap Samudera Hindia itulah Pertamina menempatkan salah satu kilang terbesarnya, kilang Cilacap.
Kilang ini memasok 34% kebutuhan BBM nasional atau 60% kebutuhan BBM di Pulau Jawa. Angka tersebut membuat Kilang minyak Cilacap punya peran besar dalam menjaga ketahanan energi di Indonesia.
Tak cukup hanya di ketahanan energi saja, isu lingkungan saat ini membuat Pertamina mesti putar otak dalam menjaga peran Kilang Minyak Cilacap yang begitu strategis.
Hal ini mengingat sekitar 75% sumber polusi udara di kota besar di Indonesia berasal dari emisi gas buang kendaraan. Bisa dibayangkan jika BBM yang digunakan bukanlah BBM yang ramah lingkungan.
Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Didik Bahagia mengatakan, sejak 2019 Kilang Cilacap bertransformasi dengan mendirikan Kilang Langit Biru Cilacap (KLBC). Proyek dengan nilai investasi US$ 392 juta tersebut menjadi salah satu usaha Pertamina mengembalikan langit biru yang dirindukan banyak orang tadi. Kehadiran KLBC menjadi bukti keseriusan Pertamina memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Kepada detikcom, Didik menjelaskan, KLBC telah menghasilkan sejumlah produk BBM yang nilai oktannya minimal 92. Bahkan, dengan produksi bahan bakar minyak Gasoline berkualitas standar EURO 4 dan Pertamax RON 92, unit kilang ini mampu meningkatkan kapasitas produksi kilang Pertamina Cilacap secara signifikan menjadi 1,6 juta barrel dari sebelumnya 1 juta barrel per bulan.
"Pertamina berkomitmen menghasilkan produk yang ramah lingkungan, berasal dari bahan baku yang ramah lingkungan, dan dari nabati bukan fossil fuel." kata Didik saat ditemui detikcom di kilang minyak Cilacap, beberapa waktu lalu.
Pertamina Kilang Cilacap Foto: Pertamina
Tak cuma menghasilkan BBM ramah lingkungan, Pertamina juga terus berinovasi untuk menghasilkan produk yang juga ramah pada kantong. Didik bilang, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mencari sejumlah bahan baku atau bahan umpan yang lebih banyak ketersediaannya di lapangan. Termasuk menyasar minyak jelantah sebagai bahan campur avtur.
"Kita sedang riset dan sudah berhasil untuk bisa mengolah minyak jelantah atau used cooking oil." jelas Didik.
"Itulah pengembangan kita untuk memotong biaya pembelian feed stock. Dan kalau limbah bisa kita olah jadi produk ramah lingkungan, berapa banyak limbah yang bisa kita hilangkan jadi produk ramah lingkungan." tambahnya.
Saat ini Pertamina tengah memasuki tahap I pengembangan kilang hijaunya. Kilang hijau atau green refinery menjadi bukti keseriusan Pertamina menjaga kualitas lingkungan.
Green Refinery di Kilang Cilacap adalah kilang hijau terbesar yang dimiliki Pertamina saat ini dengan kapasitas 3.000 bph untuk total minyak nabati. Pada tahap awal, Pertamina telah berhasil mengembangkan dua produk energi hijau, yakni Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) dan sustainable aviation fuel (SAF).
Untuk HVO, Pertamina telah mengemasnya dalam produk Pertamina Renewable Diesel D100 atau yang lebih sering disebut sebagai Pertamina RD. Pertamina RD merupakan bahan bakar nabati ramah lingkungan yang telah meraih sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
"Keuntungannya, dia lebih ramah lingkungan. Emisinya turun sekali dan seterusnya. Kualitasnya tidak kalah dengan kualitas internasional." kata Didik.
Dengan sertifikasi ISCC ini, HVO Pertamina diakui atas kontribusinya dalam menurunkan emisi karbon hingga 65-70% dibandingkan dengan bahan bakar konvensional, sehingga dengan layak dapat disebut sebagai produk ramah lingkungan.
Pertamina RD sebelumnya telah diperkenalkan dan digunakan untuk mendukung pelaksanaan Jakarta E-Prix 2021. Dengan kapasitas produksi mencapai 3.000 barel per hari, Green Refinery Cilacap menggunakan bahan baku nabati seperti Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) atau minyak kelapa sawit 100% untuk menghasilkan produk ini.
Kilang Pertamina Internasional juga berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari. SAF telah berhasil digunakan dalam penerbangan komersil perdana Garuda Indonesia pada pesawat Boeing 737-800 NG.
Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional, namun lebih ramah lingkungan.
Inovasi ini sekaligus menjadi peluang bagi Pertamina merambah pasar internasional untuk penjualan SAF. Salah satunya pasar Singapura yang diketahui bakal mewajibkan penerbangan yang berangkat dari negaranya menggunakan sustainable aviation fuel (SAF) atau bahan bakar pesawat ramah lingkungan. Sebagai permulaan, Singapura menyasar target penggunaan SAF sebesar 1% pada 2026.
Pertamina lewat anak usahanya Pertamina Patra Niaga juga telah memperluas distribusi SAF ke jaringan global, salah satunya lewat Virgin Australia Airlines. Maskapai tersebut menjadi maskapai internasional pertama yang menikmati layanan SAF dari Aviation Fuel Terminal (AFT) Ngurah Rai, yang ditandai dengan seremoni "First International Uplift" pada perhelatan Bali International Airshow di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
Penyaluran SAF ke pasar global menjadi komitmen nyata Pertamina mendorong transisi energi di sektor aviasi dan mendukung target Net Zero Emission Indonesia tahun 2060. SAF, yang diproduksi dari limbah, diolah di kilang bersamaan dengan bahan bakar fosil untuk menghasilkan bahan bakar sintetis rendah karbon, mengurangi emisi karbon hingga 84% dibandingkan bahan bakar jet konvensional.
Penyaluran Sustainable Aviation Fuel (SAF) ke Virgin Australia Airlines saat di Bandara Ngurah Rai Bali, Rabu (18/9/2024) Foto: Penyaluran Sustainable Aviation Fuel (SAF) ke Virgin Australia Airlines saat di Bandara Ngurah Rai Bali, Rabu (18/9/2024). (Dok. Pertamina)
Dorongan BPH Migas
KLBC merupakan salah satu implementasi Pertamina dari upaya Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mendorong penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan.
Anggota Komite BPH Migas Abdul Halim mengatakan penerapan bahan bakar yang bersih dan ramah lingkungan adalah bagian dari upaya transisi energi nasional yang lebih luas, menuju kemandirian energi, dan menciptakan masa depan yang lebih baik, serta berkelanjutan.
"BPH Migas terus mendorong pengembangan kilang modern, penguatan regulasi, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya energi yang bersih dan berkelanjutan," ujarnya.
Untuk mendukung implementasi BBM rendah sulfur atau BBM ramah lingkungan ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 1 tahun 2023 tentang Penugasan Khusus dan Program Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Dalam aturan ini, Badan Usaha Penugasan mendapatkan penugasan, di antaranya dalam penyediaan dan pendistribusian BBM ramah lingkungan.
Pemerintah juga terus mematangkan regulasi terkait Peta Jalan BBM yang Bersih dan Ramah Lingkungan. Regulasi tersebut akan menjadi dasar bagi BPH Migas dalam memberikan penugasan penyaluran BBM ramah lingkungan kepada Badan Usaha Penugasan dan pengawasan implementasinya.
"Saat ini merupakan masa transisi menuju penerapan BBM rendah sulfur. Kita pergunakan waktu sebaik mungkin untuk berkoordinasi dengan semua pihak. Misalnya, spesifikasi BBM rendah sulfur seperti apa, harga komersialnya, dan kompensasinya. Hal itu perlu kita petakan dengan baik agar Badan Usaha Penugasan dalam menjalankan penugasan dari Pemerintah, berada dalam koridor hukum yang ada," kata Halim.
Tidak Berhenti
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan perseroan akan terus mengembangkan penggunaan bahan bakar berbasis bioenergi dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Indonesia yang memiliki kekayaan bahan bakar nabati seperti tebu, jagung, singkong dan sorgum sangat potensial bisa mengembangkan bioenergi lebih masif lagi.
"Nanti energi kita akan berbasis bioenergi, karena Indonesia ada banyak sumber daya. Di India saya bertemu dengan technology liaison untuk bioethanol dan limbahnya bisa diproses di perusahaan India, ini salah satu follow up yang akan kita kerja samakan," kata Nicke beberapa waktu lalu.
Menurut Nicke, pengembangan bioenergi memiliki banyak manfaat dalam mempercepat transisi energi. Bukan hanya mengurangi emisi saja, produksi bioenergi juga menjadi salah satu cara Pertamina dalam mengurangi ketergantungan impor dan menciptakan lapangan pekerjaan.
"Ketika perkebunan kita dorong, kita tambah menyerap banyak tenaga kerja," tutup Nicke.
Pada akhirnya, komitmen Pertamina mendorong produksi biofuel diharapkan mampu menjawab sejumlah tantangan serius yang dihadapi Indonesia saat ini. Tak cuma soal langit biru yang dirindukan, namun juga diharapkan ikut menekan jumlah impor minyak, pembukaan lapangan kerja baru, hingga target menuju negara maju.
Lihat Video: PT Pertamina (Persero) Sabet 2 Penghargaan di Detikcom Awards
(eds/rrd)