Jakarta -
Penggunaan bahan bakar fosil perlahan dikurangi dengan memanfaatkan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk menekan emisi. Langkah ini dilakukan PT Pertamina (Persero) dengan memproduksi bahan bakar ramah lingkungan menuju masa depan yang lebih hijau dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) demi kemandirian energi.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikan Minggu (20/10) lalu juga menargetkan swasembada energi dengan memaksimalkan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia.
"Kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi, karena kita diberi karunia oleh Tuhan tanaman-tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung bangsa lain. Tanaman-tanaman seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin, kita juga punya tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, jagung, dan lain-lain," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, swasembada energi akan tercapai seiring dengan meningkatnya ketahanan energi nasional. Pemerintah mendorong pemanfaatan B50 dan B60 karena ketersediaan kelapa sawit sebagai bahan baku yang melimpah.
"Kalau ditanya bahwa itu cukup atau tidak, B35 sampai B40 itu kan kita habiskan kurang lebih sekitar 14 juta kiloliter. Nah, sementara ekspor kita kan masih banyak. Nah, kalau ditanya kapasitas Crude Palm Oil (CPO) kita cukup atau tidak, pasti cukup. Nah, tinggal kita lihat adalah teknologinya, teknologinya ini kan harus by process untuk kita uji coba. Agar ketika itu diimplementasikan, B50-B60 itu betul-betul sudah lewat uji coba yang baik," ujarnya.
Senior Vice President (SVP) Teknologi Inovasi PT Pertamina, Oki Muraza Foto: Ardan Adhi Chandra/detikcom
Sebagai perusahaan energi terintegrasi (integrated energy company), Pertamina memproduksi bahan bakar ramah lingkungan sebagai upaya diversifikasi bahan baku yang tidak hanya bersumber dari fosil, tapi juga sumber alternatif seperti bioetanol, Fatty Acid Methyl Ester (FAME), Hydrotreated Vegetable Oil (HVO), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
"(Pertama), Jadi ini diversifikasi untuk resources dan juga produk. Tidak hanya untuk bahan baku, tidak hanya minyak dan gas bumi, tapi juga sumber energi terbarukan, termasuk minyak nabati, terus sampah biomassa, dan circular economy. Kedua, tentu juga ada kebutuhan seiring sustainability dan juga untuk mendapatkan fuel dengan lower emission, jadi ini climate concern. Ketiga, karena kita BUMN, BUMN itu engine growth, kita berusaha inovasi selain untuk memperkuat ketahanan nasional, tapi juga untuk menciptakan sentra ekonomi baru, menciptakan lapangan pekerjaan. Keempat, kita butuh bisnis yang, ibaratnya kita sudah ada toolbox hydrocarbon economy, memberikan penghasilan sekian tahun, ada kilang, ada distribusi BBM, tapi sumber ini terbatas, jadi kita butuh another toolbox yang bioeconomy, yang masukannya bisa lebih ada di Indonesia barangnya EBT," kata Senior Vice President (SVP) Teknologi Inovasi PT Pertamina, Oki Muraza kepada detikcom, ditulis Rabu (30/10/2024).
Oki melanjutkan, Pertamina sudah memproduksi dan mendistribusikan empat BBM ramah lingkungan, antara lain, Pertamax Green 95, Biosolar, Pertamina Renewable Diesel, dan Bioavtur/Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF). Keempat BBM ramah lingkungan tersebut diproduksi dengan campuran produk ramah lingkungan, apa saja?
Pertama, Pertamax Green 95 merupakan bahan bakar hasil pengembangan energi terbarukan berupa Bioetanol yang berasal dari tanaman tebu yang bisa menekan emisi karbon dibandingkan BBM konvensional. Pertamax Green diluncurkan pertama kali pada Juli 2023 dan dijual di sejumlah SPBU Pertamina.
Kedua, Biodiesel yang merupakan campuran antara minyak nabati berupa Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dan solar konvensional. Pada 2025, pemerintah menargetkan implementasi Biodiesel 40% (B40), yakni campuran solar dengan 40% bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak sawit dan harapannya bisa mencapai B100.
Ketiga, Pertamina Renewable Diesel D100 yang merupakan bahan bakar nabati ramah lingkungan yang dihasilkan dari Hydrotreated Vegetable Oil (HVO).
"Pertamina Renewable Diesel D100 sering disebut sebagai Pertamina RD yang merupakan bahan bakar nabati ramah lingkungan atau dikenal di pasar global sebagai Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)," ujar Oki.
Mengutip dari situs Pertamina, Pertamina Renewable Diesel D100 diproduksi melalui proses hidrotreating yang canggih, yang mengubah bahan baku nabati menjadi bahan bakar diesel yang lebih bersih dan efisien. Proses ini memungkinkan PT Pertamina (Persero) untuk menciptakan produk yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memiliki kualitas yang setara atau bahkan lebih baik dari diesel konvensional.
Keempat, Bioavtur/Pertamina SAF merupakan bahan bakar pesawat terbang alternatif yang berasal dari sumber daya alam terbarukan, seperti minyak nabati, lemak hewan, atau limbah biomassa.
"Saat ini Pertamina telah mampu memproduksi bioavtur yang dibuat dari campuran avtur dan turunan kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil/RBDPKO) 2,4% melalui metode co-processing di kilang RU IV Cilacap," tutur Oki.
Infografis BBM Ramah Lingkungan Pertamina Foto: Dok. Tim Infografis - Zaki Alfarabi/detikcom
Produksi Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Oki menjelaskan, produksi BBM ramah lingkungan Pertamina melibatkan beberapa teknologi dan tahapan utama yang memungkinkan untuk mengubah sumber daya terbarukan seperti minyak nabati, limbah organik, atau biomassa menjadi bahan bakar yang dapat digunakan untuk kendaraan dan industri.
"Untuk memastikan ketersediaan pasokannya, pengembangan bahan bakar ramah lingkungan ini harus diikuti dengan pengembangan infrastruktur bahan bakunya. Termasuk bagaimana melakukan diversifikasi bahan baku dan tentunya perlu dukungan kebijakan yang kondusif dari pemerintah untuk tetap menjaga iklim investasi bahan bakar ramah lingkungan," jelas Oki.
Untuk mencapai target bauran EBT dan nol emisi (Net Zero Emission/NZE) 2060, Pertamina berkomitmen untuk terus mengembangkan dan memproduksi bahan bakar ramah lingkungan. Oki mengatakan, pihaknya akan terus mendorong peningkatan porsi biokomponen dalam campuran bahan bakar.
Selain bioetanol yang sudah digunakan sebagai campuran dalam Pertamax Green 95, biokomponen biodiesel dari kelapa sawit, biokomponen dari minyak sawit, dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO), Pertamina juga terus mengembangkan riset potensi dari biokomponen dari minyak nabati lainnya seperti minyak malapari, kepuh, nyamplung, jarak pagar, atau bahkan alga.
"Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selain minyak kelapa sawit yang menjadi bahan baku saat ini, Pertamina juga membidik beberapa alternatif bahan baku untuk biofuel yang lebih berkelanjutan, antara lain minyak goreng bekas (waste cooking oil), lemak hewani (animal fat), minyak alga (algae oil), minyak-minyak nabati non edible oil termasuk sumber-sumber biomassa dari limbah pertanian dan kehutanan seperti sekam padi, bagas, tandan sawit kosong, dan lain-lain," kata Oki.
Oki menambahkan, setiap bahan baku, baik dari minyak kelapa sawit, sorgum, hingga bahan lain seperti minyak goreng bekas atau alga pada dasarnya memiliki proses produksi yang spesifik untuk diubah menjadi bahan bakar ramah lingkungan. Sebagai contoh, Biodiesel adalah bahan bakar yang dihasilkan dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses transesterfikasi. Sedangkan Bioetanol adalah bahan bakar yang dihasilkan dari fermentasi gula atau pati yang terdapat dalam tanaman seperti sorgum, tebu, atau jagung.
BBM B40 diujicoba untuk kendaraan roda empat. B40 merupakan bahan bakar biodiesel campuran minyak sawit 40%. Foto: Rifkianto Nugroho
Inovasi Bioetanol Berbahan Sorgum
Pertamina juga melakukan inovasi Bioetanol berbahan dasar sorgum. Oki mengatakan, sorgum merupakan salah satu tanaman yang menjanjikan sebagai bahan baku bioetanol. Ketahanan sorgum terhadap kekeringan dan berbagai jenis tanah membuatnya cocok untuk dibudidayakan di berbagai wilayah. Sorgum memiliki kandungan gula yang cukup tinggi, terutama pada bagian batangnya, sehingga potensial untuk dikonversi menjadi bioetanol.
"Pada tahun ini, Pertamina telah melakukan uji coba penggunaan bioetanol 100% (E100) dari sorgum pada kendaraan Toyota Flex Fuel Vehicle (FFV). Hasil uji coba menunjukkan performa yang baik dan emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil," tutur Oki.
Oki mengatakan, Bioetanol yang berasal dari molase sorgum sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia diiringi dengan budi daya tanaman dan pengembangan infrastruktur pengolahan. Sorgum dinilai lebih unggul daripada tebu karena kebutuhan air dan pupuk yang lebih sedikit. Pihaknya bekerja sama dengan Universitas Mataram dalam membudidayakan sorgum untuk menjamin pasokan sebagai bahan baku bioetanol.
"Jadi kami ada kerja sama dengan Universitas Mataram, kami coba budi daya di sana dan ini kami akan melakukan scale up yang lebih besar untuk NTB dan NTT, ini masih on going. Harapannya dengan scale up ini kita nanti bisa lebih dapat nih bagaimana implementasinya," ujar Oki.
Tanaman sorgum Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Bagaimana bioetanol sorgum diolah? Oki menjelaskan, ada tiga bagian dalam tanaman sorgum, yaitu bulir, batang, serta daun dan pelepah. Bulir bisa dijadikan tepung, batang yang mirip tebu bisa diperas dan niranya difermentasi menjadi bioetanol, kemudian daun dan pelepah yang bisa dijadikan pakan ternak.
"Kemudian, batangnya ini mirip tebu, jadi kita peras dan kita bisa niranya ini kita fermentasi dapat bioetanol, kami sudah showcase GIASS sorgum batangnya kita peras dan dapat bioetanol kita sudah tes juga di flexi fuel milik dari kolaborator kami Toyota dan itu sudah sukses," kata Oki.
Oki menjawab bagaimana bahan bakar ramah lingkungan (biofuel) bisa menekan emisi. Pada dasarnya, bahan bakar ramah lingkungan terbuat dari sumber-sumber terbarukan seperti minyak nabati atau limbah pertanian. Ketika biofuel dibakar, CO2 yang dilepaskan ke atmosfer sebenarnya setara dengan CO2 yang diserap tanaman selama masa pertumbuhannya melalui proses fotosintesis.
Tujuan jangka panjang Pertamina dalam memproduksi bahan bakar ramah lingkungan mencakup berbagai aspek, mulai dari mengurangi emisi karbon, mendukung transisi energi nasional, hingga menciptakan daya saing pasar global.
"Dengan fokus pada keberlanjutan, diversifikasi sumber energi, dan inovasi teknologi, Pertamina berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi global dalam memerangi perubahan iklim serta menjaga ketahanan energi dan keberlanjutan bisnis di masa depan," jelas Oki.
(ara/ara)