Jakarta -
Beberapa pabrik pengolahan garam dikabarkan berhenti produksi usai pemerintah menyetop impor garam mulai 2025. Pabrik pengolahan itu berhenti produksi lantaran kekurangan bahan baku untuk disalurkan ke industri.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan pemerintah sebenarnya mulai menutup impor garam sejak tahun lalu. Hal ini sebagaimana tertuang dalam aturan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional. Melalui beleid itu, pemerintah menutup impor garam industri, kecuali untuk kebutuhan industri Chlor Alkali Plant (CAP).
"Sudah ditutup (impor), kecuali CAP, sejak tahun 2024. Kemarin tidak ada lagi impor untuk industri, khususnya untuk aneka pangan dan farmasi, kecuali CAP masih dibuka," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara kepada detikcom, dikutip Selasa (21/1/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cucu menyebut setidaknya lebih dari tiga pabrik industri pengolahan yang berhenti produksi karena ketiadaan bahan baku. Kondisi tersebut dapat berpengaruh kepada stok garam industri di industri aneka pangan.
"Sudah berhenti, pengolahan sudah berhenti. Ada perusahaan kami yang sudah berhenti produksi. Di industri pengolahan lebih dari tiga (pabrik) sudah berhenti produksi untuk supply aneka pangan karena ketiadaan bahan baku," terang Cucu.
Dia menjelaskan selama ini industri pengolahan memang mengimpor garam dalam bentuk gara mentah (raw material). Garam mentah itu akan diolah menjadi bahan baku untuk kebutuhan industri.
Sejak kebijakan tersebut diterbitkan, Cucu menerangkan industri pengolahan garam sudah berupaya maksimum untuk menggunakan garam-garam lokal sebagai bahan baku untuk garam industri. Namun, sampai hari ini, pihaknya masih menerima banyak keluhan dari industri aneka pangan karena tidak memenuhi standar.
"Kita sudah berupaya maksimum untuk menggunakan garam-garam lokal untuk jadi garam industri, hampir semua saya perintahkan pada pengolahan garam. Namun demikian, ternyata sampai hari ini masih banyak keluhan banyak tolakan dari industri aneka pangan bahwa garam tersebut tidak bersyarat sehingga kemarin ada statement dari 40% produksi aneka pangan itu reject, tidak memenuhi syarat," imbuh Cucu.
Pihaknya pun telah menyurati pemerintah terkait kondisi yang terjadi di industri pengolahan. Sebab, apabila kondisi ini terus berlarut-larut, Cucu memperkirakan akan terjadi stagnan industri. Negara pun akan mengalami kerugian imbas dari keberlangsungan industri aneka pangan.
"Artinya industri akan menjerit. Kemungkinan mereka akan tutup produksi, atau juga bisa pindah pabrik atau juga mungkin untuk efisiensi, merumahkan karyawan. Nanti kita akan kehilang devisa dari aneka pangan luar biasa kan devisa sampai mencapai US$ 20 miliar," terang Cucu.
Cucu pun meminta pemerintah untuk membuka kembali keran impor garam. Sebab, hingga hari ini garam lokal belum mampu memenuhi standar kebutuhan garam industri. Permintaannya itu juga untuk keberlangsungan industri pengolahan.
"Apabila memang kita belum mampu sampai hari ini, ya mau tidak mau kita harus membuka keran impor untuk pertumbuhan industri kita apalagi Pak Presiden sudah menyarankan pertumbuhan ekonomi 8%. Jadi kita berharap objektif dan realistis. memang tidak mampu dan mungkin menurut saya sampai hari ini belum mampu, ya keran impor dibuka lagi gitu," tegas Cucu.
KKP Beri Respons
Menanggapi hal itu, Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Miftahul Huda mengakui memang pemerintah telah menutup keran impor sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional.
"Sebenarnya memang aturan Perpres 126 tahun 2022 itu dibatasi importasinya. Ini masih dibolehkan impor sampai tahun 2027 itu garam industri CAP," kata pria yang akrab disapa Huda kepada detikcom, Selasa (21/1).
Sementara untuk kebutuhan industri lain, Huda berharap dapat dipenuhi melalui produksi garam dalam negeri. Sebab, Huda menilai, selama ini tidak semua kebutuhan garam industri dipenuhi dari impor. Namun, ada juga dari produksi dalam negeri.
"Yang lain diharapkan dicukupi dalam kebutuhan dalam negeri. Selama ini kan tidak semuanya bisa tidak harus impor. Kan ada sebagian yang bisa diambil dari pemerintah," terang Huda.
Saat ditanya mengenai tidak sesuai dengan standar industri, Huda menjelaskan semua garam impor sebenarnya butuh diolah kembali. Begitu juga dengan produksi garam dalam negeri. Untuk itu, KKP terus meningkatkan produksi serta kualitas garam melalui beberapa upaya.
Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Huda menyebut pihaknya telah menargetkan beberapa daerah untuk meningkatkan produksi garam, seperti Madura, Cirebon, Brebes, Indramayu, Tuban, hingga Rembang. Pihaknya juga telah membidik NTT untuk memperluas lahan.
"Intensifikasi lahan yang ada. Contoh ya kita mau pakai modeling yang mau Pak Menteri itu kan di Indramayu. Terus ada pendekatan di lahan-lahan lain, seperti Cirebon, Brebes, kalau di Jawa Tengah, Rembang, Tuban, Jawa Timur, Lamongan, dan seterusnya dengan cara menaikkan kadar NaCL, membagi air tuaknya. Terus ada yang memang kita harus membuka investasi dengan cara ekstensifikasi di NTT," jelas Huda.
Kedua dengan teknologi. Huda menerangkan ada beberapa daerah produksi garam yang membutuhkan teknologi canggih untuk menghasilkan kadar Natrium Klorida (NaCl) tinggi, seperti Indramayu. Namun, ada beberapa juga daerah yang tidak membutuhkan teknologi. Dalam hal ini, pihaknya akan meningkatkan kapasitas produksi di daerah tersebut, seperti di NTT.
"Nah yang meningkatkan dengan teknologi tadi, yang pertama karena kondisi umpamanya kita mengoptimalkan yang ada di Jawa, seperti Indramayu kita sampaikan tadi. Karena kan dia kualitas airnya mungkin tidak sebagus di NTT sehingga ada pendekatan teknologi, dipompa airnya, tidak tergantung air pasang surut lagi dan seterusnya sehingga kan air laut yang di dapat bagus," imbuh Huda.
(acd/acd)