Jakarta -
Pemerintah resmi menutup keran impor garam mulai 1 Januari 2025. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional. Lantas berapa produksi garam nasional saat ini?
Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), Jakfar Sodikin menerangkan, produksi garam dari petani maupun petambak garam mencapai 2,2 juta ton pada 2024. Sementara, produksi garam di PT Garam diperkirakan sebesar 300 ribu ton di tahun yang sama.
Apabila ditambah dengan produsen garam swasta PT Ainul Hayat Sejahtera sebesar 16 ribu ton, produksi garam dalam negeri pada 2024 mencapai sekitar 2,5 juta ton. Kemudian, Jakfar pun memperkirakan produksi garam pada 2025 dengan acuan produksi di tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, kita bicara tahun 2025. Nah, untuk tahun ini dia (PT Ainul Hayat Sejahtera), karena kapasitas produksinya itu sebesar 200 ribu ton. Nah, jadi kalau itu ditambahkan 200 ribu ton, bisa diperkirakan untuk tahun 2025 itu sekitar 2,7 juta ton sampai 2,8 juta ton untuk tahun ini perkiraan," kata Jakfar kepada detikcom, dikutip Selasa (21/1/2025).
Jakfar menjelaskan kebutuhan garam nasional diperkirakan mencapai 4,7 juta ton pada 2025. Dari total tersebut, sekitar 2 sampai 2,2 juta ton untuk kebutuhan industri Chlor Alkali Plant (CAP). Sementara sisanya, diperuntukkan untuk kebutuhan lain.
"Nah, kalau kebutuhannya CAP itu segitu. Berarti kebutuhan selain CAP itu adalah 2,5 juta ton, ya. Nah, dari 2,5 juta ton dengan kemungkinan kita produksi tahun 2025 ini sekitar 2,7 sampai 2,8 berarti masih ada kelebihan. Aman ini," imbuh Jakfar.
Kendati demikian, dia tidak menampik masih terjadi kendala dalam proses produksi sehingga kemungkinan perkiraan produksinya meleset. Jakfar menyebut ada faktor teknis dan non teknis dalam upaya meningkatkan produksi garam nasional, seperti teknologi dan harga di pasaran.
Menurut Jakfar, pemerintah seharusnya mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui teknologi, khususnya di industri pengolahan. Hal ini sebagai upaya mendorong penyerapan produksi garam lokal lebih baik lagi mengingat belum mampu memenuhi standar industri.
"Terus non teknisnya adalah apabila harga harga itu distabilkan. Jadi petani garam atau petambang ini dia akan punya motivasi untuk membuat garam. Jadi, garamnya ini akan laku dengan harga bagus dan semuanya terserap. Jadi mereka lebih bersemangat, itu motivasi," terang Jakfar.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara meminta pemerintah hendaknya realistis untuk mencapai tujuan tersebut. Sebab, sampai hari ini dia masih menerima keluhan dari industri pengolahan garam lokal belum mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan garam industri.
"Namun demikian, pemerintah pun harus realistis apakah memang garam sudah bisa mencukupi khususnya untuk industri? Karena memang sampai hari ini, sesuai dengan laporan kawan-kawan di aneka pangan, garam lokal belum bisa digunakan untuk garam industri karena spesifikasinya," kata Cucu kepada detikcom.
Cucu menekankan apabila memang belum mampu, dia meminta agar keran impor dibuka kembali. Apabila terus dilanjutkan, industri pengolahan, termasuk industri aneka pangan akan berdampak.
Menurut Cucu, industri pengolahan akan menjerit. Bahkan mereka akan tutup produksi, pindah pabrik juga mungkin untuk efisiensi, serta merumahkan karyawan. Untuk itu, dia meminta agar keran impor garam dibuka kembali demi keberlangsungan industri pengolahan.
"Apabila memang kita belum mampu sampai hari ini, ya mau tidak mau kita harus membuka keran impor untuk pertumbuhan industri kita apalagi Pak Presiden sudah menyarankan pertumbuhan ekonomi 8%. Jadi kita berharap objektif dan realistis. memang tidak mampu dan mungkin menurut saya sampai hari ini belum mampu, ya keran impor dibuka lagi gitu," imbuh Cucu.
(acd/acd)