Jartaplok Nihil Gelar FO, Komdigi Diminta Evaluasi Peserta Lelang Frekuensi 1,4 GHz

11 hours ago 4

Jakarta -

Lelang frekuensi 1,4 yang akan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kembali disorot pengamat telekomunikasi. Ada kejanggalan rancangan aturan lelang spektrum tersebut

Dalam draft Rancangan Peraturan Menteri Komdigi (RPM) rencananya akan memperbolehkan seluruh pemegang izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched (jartaplok) yang dapat mengikuti lelang spektrum frekuensi 1,4 GHz.

Berdasarkan pemahaman Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi bahwa lisensi jartaplok yang diberikan Komdigi sejatinya dipergunakan untuk penyelenggara telekomunikasi berbasis fiber optik. Dan pemegang izin jartaplok tidak diberikan izin frekuensi karena izin penggunaan frekuensi selama ini diperuntukkan bagi operator selular.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komisioner BRTI periode2006-2008 ini heran kenapa sekarang Komdigi melakukan lelang frekuensi 1,4 GHz untuk penyelenggaraan jartaplok. Sebelum memperbolehkan penyelenggaraan jartaplok ikut lelang 1,4 Ghz, harusnya Komdigi mendesak mereka untuk dapat membangun jaringan telekomunikasi berbasis fiber optik terlebih dahulu, karena itu sesuai dengan komitmen pembangunan yang mereka buat ketika mendapatkan izin penyelenggaraan.

"Jangan sampai mereka belum memenuhi komitmen pembangunannya jartaplok, mereka sudah diperbolehkan mengikuti lelang frekuensi 1,4 GHz. Jangan sampai objektif pemerintah mempercepat penetrasi broadband di Indonesia tertunda karena mereka tak memenuhi komitment pembangunannya," kata Heru dalam pernyataan tertulisnya.

Selain itu, Heru meminta agar Komdigi dapat melakukan evaluasi mendalam terlebih dahulu terhadap kebutuhan frekuensi bagi penyelenggaraan jartaplok. Heru merasa aneh jika Komdigi membuka kesempatan bagi penyelenggaraan jartaplok tanpa melakukan evaluasi mendalam.

Disampaikannya, harusnya Komdigi terlebih dahulu mendesak pemegang izin jartaplok memprioritaskan membangun jaringan telekomunikasi berbasis fiber optik karena pembangunan jaringan telekomunikasi berbasis fiber optik merupakan janji mereka ketika mendapatkan izin penyelenggaraan.

Lebih lanjut, jika penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched mendapatkan frekuensi 1,4 GHz Heru memperkirakan akan merusak industri yang sudah ada. Sebab BHP frekuensi 1,4 GHz jauh lebih murah ketimbang selular.

"Harusnya Komdigi mendesak pemegang izin jartaplok untuk bangun fiber optik. Bukan malah mengizinkan mereka ikut lelang frekuensi 1,4 GHz. Jangan sampai lelang frekuensi 1,4 GHz malah menambah jumlah pemain. Padahal sejak lama Komdigi ingin segera terjadi konsolidasi penyelenggara telekomunikasi," tuturnya.

"Saat ini industri telekomunikasi nasional dalam kondisi tidak baik. Sebelum mengizinkan pemegang izin jartaplok ikut lelang 1,4Ghz, harusnya Komdigi dapat menyehatkan industri telekomunikasi terlebih dahulu dengan menurunkan BHP frekuensi operator selular. Setelah itu baru melelang frekuensi 1,4Ghz untuk operator pemegang izin jartaplok," sambungnya.

Di sisi lain, Komdigi diminta dapat melihat kekuatan kapital yang dimiliki peserta lelang. Sebab, Indonesia punya pengalaman buruk ketika Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang menguasai frekuensi karena kekuatan finansialnya terbatas, mereka menjual ke Saudi Telecom Company (STC). Setelah itu STC yang memiliki brand Axis dijual ke XL Axiata.

Selain itu, frekuensi 2100 Mhz dan 1800 MHz milik negara juga pernah dikuasai Cyber Access Communication (CAC). Namun karena kekuatan finansialnya terbatas, di tahun 2006 sebagian besar saham PT CAC dialihkan ke Hutchison Telecom.

"Ini pembelajaran bagi Komdigi dan kita semua jangan sampai frekuensi dikuasai perusahaan yang semata-mata hanya ingin melakukan makeup laporan keuangan dan menaikan value perusahaan. Kalau kebutuhan mereka hanya itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia tak mendapatkan manfaat dari frekuensi. Padahal pemerintah memiliki objektif untuk menyediakan layanan telekomunikasi bagi masyarakat,"pungkas Heru.


(agt/agt)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global