Jakarta -
Pengusaha menyatakan industri tekstil dalam negeri digempur habis-habisan oleh barang impor. Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa gulung tikar karena gempuran impor.
Ketua Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan industri tekstil sebenarnya memiliki potensi luar biasa untuk memberikan nilai tambah ekonomi., namun terancam oleh maraknya impor dan barang selundupan. Indonesia diprediksi rugi hingga Rp 235 triliun karena nilai tambah industri tekstil dalam negeri jadi tak maskimal selama digempur barang impor.
Dirinya memberikan gambaran terkait nilai tambah tersebut, dari bahan baku seperti PX (Paraxylene) bila produk itu dibeli seharga Rp 5.000 per 0,30 kg dapat menghasilkan nilai tambah menjadi 1 kg pakaian senilai Rp 104 ribu. Artinya ada nilai tambah besar hingga 200%.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data APSyFI per 2023 mencatat terdapat kebutuhan konsumsi garmen domestik yang mencapai 2,26 juta ton. Artinya jika total kebutuhan garmen dikalikan dengan nilai tambah tadi nilai ekonomi industri tekstil bisa mencapai Rp 235 triliun per tahun.
"Dari PX yang cuma Rp 5.000 kali kuantitinya, kita beli dari Pertamina hampir 600.000 metrik ton per tahun, jadi total nilainya sekitar Rp 10 triliun. Dari Rp 10 triliun itu, business size-nya bisa berkembang jadi Rp 235 triliun," jelas Redma dalam keterangan resmi, Senin (13/1/2025).
Kontribusi pajak dari industri tekstil juga signifikan. Dengan PPN sebesar 11% saja, Redma memperkirakan pemerintah bisa mengumpulkan hingga Rp 25 triliun per tahun. Angka ini menunjukkan sektor tekstil tidak hanya penting sebagai pendorong ekonomi, tetapi juga sumber penerimaan negara.
Belum lagi dari kontribusi PPN impor tekstil, salah satunya komoditas kapas. Diketahui per 2023, konsumsi kapas di Indonesia mencapai 611.550 metrik ton dengan harga beli Rp 31.000 per kilogram, artinya apabila impor kapas berjalan dengan benar, pajak yang dapat diterima negara sekitar Rp 18,95 triliun per tahun.
"Dari PPN saja bisa mencapai Rp 25 triliun. Ini menunjukkan betapa besar multiplier effect dari industri tekstil terhadap ekonomi nasional," sebut Redma.
Gempuran impor tekstil hantam RI. Cek halaman berikutnya.
Gempuran Impor
Namun potensi ini menemui jalan buntu akibat masuknya barang impor dan selundupan, terutama pada produk kain dan garmen. Hal ini berdampak langsung pada sektor benang dan polyester, yang kini mengalami penurunan kapasitas produksi.
"Kalau baju impor masuk, berarti kain lokal tidak dibutuhkan. Akhirnya kain impor juga masuk, pabrik benang dan poliester pun terkena imbas. Padahal, kapasitas produksi polyester kita cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi pabrik-pabrik ini malah tutup karena serbuan impor," jelas Redma.
Dia pun sangsi dengan akurasi data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan PDB per triwulan-III 2024 sektor tekstil sebesar 7,43% secara tahunan. Hal ini dikarenakan besarnya importasi yang tidak tercatat dan tidak dimasukkan dalam perhitungan neraca perdagangan sehingga otomatis dihitung sebagai produk dalam negeri, padahal itu adalah produk impor.
"Itu impor kain dan garmen yang tercatat hanya 50%-nya, seakan neraca kita positif padahal negatifnya sangat besar, tahun ini lebih dari US$ 2,5 miliar. Faktanya PHK juga terjadi dimana-mana, baiknya pemerintah turun langsung verifikasi 60 perusahaan yang tutup ini biar jelas," terang Redma.
Redma menegaskan pentingnya kebijakan untuk melindungi industri tekstil dari serangan impor dan selundupan. Salah satunya adalah dengan memperketat pengawasan di sektor hilir seperti kain dan garmen.
Selain itu, dia mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam berbagai proyek, termasuk pengadaan seragam sekolah dan kebutuhan pemerintah lainnya.
"Jika impor terus menggempur, pabrik lokal yang memproduksi kain, benang, polyester, PTA, Paraxylene bakal mengalami tekanan berat dan terancam mati," pungkas Redma.