4 Dampak Ngeri Pengetatan Aturan Penjualan Produk Tembakau di RI

2 weeks ago 6

Jakarta -

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan disebut-sebut dapat memberikan berbagai dampak buruk terhadap ekosistem industri hasil tembakau (IHT).

Sebab dalam aturan ini dinilai terdapat sejumlah Pasal 'bermasalah' yang dapat mengganggu iklim usaha IHT dari hulu hingga ke hilir. Misalkan saja aturan terkait larangan berjualan rokok secara eceran alias keteng, penetapan jarak minimal berjualan dari institusi pendidikan, hingga kemasan rokok polos.

Dirangkum detikcom, berikut empat dampak ngeri aturan pengetatan rokok di RI:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Merugikan Ratusan Ribu Petani Tembakau RI

Ketua Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPC APTI) Jawa Timur Bondowoso, Yazid menyebut pengetatan aturan rokok itu mengancam keberlangsungan mata pencaharian petani tembakau, karena aturan itu dianggap akan berdampak buruk bagi pendapatan dan lapangan kerja ribuan petani tembakau di Jawa Timur.

"Kami petani tembakau se-Jawa Timur sedang memperjuangkan sawah ladang kami. Sudah sejak turun-temurun kami mengandalkan tembakau sebagai sumber penghidupan. Kami, tegas menolak aturan-aturan pertembakauan di PP Kesehatan dan RPMK, termasuk pemaksaan standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek. Kurang lebih 370 ribu petani tembakau di Jawa Timur akan jadi korban," kata Yazid dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (16/10/2024).

Senada, Sekretaris Jenderal DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi, menjelaskan per 2023 ini Indonesia memiliki perkebunan tembakau kurang lebih seluas 191,8 ribu hektare. Luas ini tercatat mengalami penurunan sekitar 4,38% atau 8,8 ribu hektare dari 2021 yang sempat mencapai 200,6 ribu hektare.

Dari jumlah itu, ia menyebut Jawa Timur menjadi provinsi dengan perkebunan tembakau terluas se-Indonesia, yakni 90,6 ribu hektare atau setara 47,23% dari total luas perkebunan tembakau nasional.

Berikutnya ada Jawa Tengah yang memiliki perkebunan tembakau seluas 50 ribu hektare. Kemudian diikuti NTB dan Jawa Tengah yang masing-masing memiliki 34,3 ribu hektare dan 8 ribu hektare.

Dengan lahan perkebunan se-luas itu, tentu ada jutaan orang terlibat untuk mencari nafkah. Namun dengan adanya RPMK dan PP. No 28 Tahun 2024, ia mengkhawatirkan munculnya gangguan di sektor hilir industri hasil tembakau (IHT) yang secara tak langsung juga akan mempengaruhi kesejahteraan mereka.

"Hulu ini memang dilihat dari pasal per pasal tidak ada ada aturan khusus yang mengganggu di hulu. Tapi kalau sektor hilirnya terpukul, tentu akan terimbas di sana. Nah kalau daya beli atau konsumsi rokoknya turun, serapan pertanian kita tentu akan turun," kata Kusnasi dalam acara Talkshow Perkebunan Expo 'Bunex' Tembakau & Cengkeh Sebagai Komoditas Strategis Nasional, Kamis (12/9/2024).

"RPMK dan PP. No 28 Tahun 2024 ini mengabaikan sentralitas dan strategis komoditas tembakau. Ingat, ada 2.5 juta petani tembakau yang akan terdampak langsung dari pasal-pasal pertembakaun di peraturan ini," jelasnya.

Padahal menurutnya hanya tembakau satu-satunya andalan mata pencaharian petani yang masih bisa tumbuh di saat kemarau. Sehingga secara otomatis, aturan yang memberatkan sektor IHT dalam PP ini akan memukul pendapatan para petani.

Sementara itu Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan Kementerian Pertanian, Rizal Ismail, mengatakan pada dasarnya tidak ada aturan atau pasal dalam PP 28 Tahun 2024 yang secara langsung membatasi para petani tembakau. Sebab sejumlah pasal dalam PP ini hanya mengatur bagian hilir seperti zonasi penjualan rokok dan sebagainya.

Namun ia tidak memungkiri jika aturan di bagian hilir ini dapat mempengaruhi sektor hulu, yakni para petani tembakau dan cengkeh. Karena pada akhirnya kalau bagian hilir terganggu, tentu penyerapan komoditas di hulu akan terdampak.

"Kalau dari hulu sampai ke hilir, 6 juta orang yang terlibat di situ ya. Kalau 6 juta orang yang terlibat di situ, hampir sama dengan sektor beras. Hampir sama dengan jumlah orang yang terpukul ketika industri tembakau ini ganggu hampir sama dengan industri beras," ucapnya.

2. Penurunan Omzet Pedagang Kecil

Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) menilai sejumlah pasal terkait pengetatan penjualan produk tembakau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan dapat mengancam keberlangsungan usaha pedagang pasar.

Ketua Umum APARSI, Suhendro menyatakan penerbitan PP Kesehatan ini akan mengancam keberlangsungan hidup 9 juta pedagang di pasar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Jika aturan ini diberlakukan, kami telah menghitung penurunan omzet usaha sebesar 20%-30%, bahkan sampai pada ancaman penutupan usaha karena komoditas ini menjadi penyumbang omzet terbesar bagi teman-teman pedagang pasar," tegas Suhendro dalam keterangan resminya, Minggu (4/8/2024) lalu.

Hal senada juga pernah disampaikan oleh Ketua Paguyuban Pemilik Warung Kopi Hussein Gozali. Di mana pria yang akrab disapa Cak Chong itu menjelaskan bahwa sekitar 50% dari omzet warkop berasal dari penjualan kopi dan rokok.

"Jika menjual rokok dalam kemasan, keuntungannya hanya Rp 1.000-2.000 per bungkus. Namun, kalau kami menjual eceran, keuntungan dari satu bungkus bisa mencapai Rp 5.000. Sekitar 80% pembeli di warkop lebih memilih membeli rokok secara eceran. Jadi, larangan penjualan eceran ini juga akan memberatkan pembeli," paparnya.

Ada juga Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi) yang mengatakan modal penjualan dari toko kelontong sendiri cukup kecil berkisar Rp 5 jutaan. Jika kebijakan itu diberlakukan maka diprediksi akan menggerus pendapatan dari pedagang bahkan diprediksi bisa gulung tikar.

Kondisi itu terjadi karena pendapatan dari rokok sendiri cukup besar untuk pedagang kelontong hingga 60%-70%. Ditambah biasanya konsumen membeli rokok juga akan membeli produk lain, jadi pendapatannya akan lebih besar tergerusnya.

"Jadi memang kenyataanya mungkin bisa 60% diperkirakan gulung tikar. Karena menarik pelanggan itu yang tadinya beli rokok, ya tiba-tiba beli kopi, nanti minuman-minum itu dipajang nanti itu dibeli. Jadi impact-nya kalau nggak ada rokok besar," kata dia dalam konferensi pers, Polemik Larangan Penjualan Rokok di PP Nomor 28 Tahun 2024, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2024).

Sementara Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi juga menegaskan pihaknya menolak aturan larangan penjualan rokok itu. Karena menurutnya omzet dari ritel kecil atau UMKM didominasi dari penjualan rokok.

"Anggota koperasi kebanyakan UMKM itu mengandalkan rokok omzetnya 50% dengan aturan ini menekan kami pelaku ritel. Di mana kami tidak melakukan pelanggaran penjualan pembatasan usia makin overlapping. Kami menolak kami akan upayakan PP ini dibatalkan," tegasnya.

3. Ancaman PHK Massal dari Industri Terkait

Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi menyebut Pasal 449 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur zonasi pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak berpotensi menyebabkan PHK massal di industri periklanan maupun sektor turunannya.

"Kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), karena ini menjadi efek domino, salah satunya ke industri kreatif kelas menengah ke bawah. Jadi, dampaknya cukup signifikan," kata dia dalam keterangan yang diterima detikcom, dikutip Kamis (29/8/2024).

Menurutnya dengan aturan itu dari 57 perusahaan yang tersebar di 26 kota, terdampak dengan regulasi ini. Bahkan industri yang mengandalkan 75 persen mengandalkan produk rokok, sebanyak 25 persen perusahaan diprediksi langsung bangkrut.

"Contohnya di Bali, sudah adalah laporan, ada festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor rokok. Pengiklan tidak berani, karena takut melanggar PP 28," katanya.

Sementara itu Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Merrijantij Punguan juga pernah mengatakan apabila kebijakan tersebut diterapkan akan terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan.

Padahal menurutnya warung-warung kelontong hampir sebagian penjualan hariannya berasal dari rokok. Selain itu, larangan berjualan produk tembakau radius 200 meter dapat menyebabkan outlet penjualan menjadi berkurang. Imbasnya, keuntungan penjualan harian menjadi berkurang.

"Artinya kalau dari sisi market ada tekanan itu akan berdampak kepada sisi produksi. Sisi produksi ada tekanan, akan berdampak kepada tenaga kerja. Tenaga kerja, ada dampak di tenaga kerja ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Jadi, ya ini secara keseluruhan akan berdampak kepada perekonomian nasional kita," kata Merri saat ditemui di Perle Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2024).

"Kalau tadi itu (potensi PHK) pasti ada. Kalau memang pasar kita berkurang, penjualan berkurang pasti dari sisi produksi kan dikurangi. Pengurangan produksi ini akan membuat satu kebijakan khusus di industri masing-masing untuk melakukan efisiensi di mana-mana. Efisiensi itu ya pada akhirnya juga akan melakukan efisiensi di tenaga kerja," jelasnya.

Lebih lanjut, PHK itu tidak hanya terjadi di industri tembakau saja, melainkan industri pendukungnya, seperti industri kertas dan industri filter. Padahal banyak masyarakat Indonesia yang bergantung pada sektor industri tersebut. Meski begitu, dia menyebut pihaknya belum memperkirakan atau menghitung berapa besar PHK yang terjadi di industri tembakau. Namun, dari pelaku industri hasil tembakau memang telah menyatakan akan berdampak negatif.

"Dan banyak masyarakat Indonesia yang bergantung kehidupannya kepada sektor industri hasil tembakau ini. Baik itu dari petani tembakau, petani cengkeh, pekerja langsung di industri hasil tembakaunya dan pekerja di industri-industri pendukungnya, seperti di industri kertas, industri filter. Itu banyak. Jadi, harus mempertimbangkan," terangnya.

4. Timbulkan Ketidakpastian Hukum Bagi Pengusaha

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FPS RTMM SPSI) Sudarto menilai PP 28/2024 bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha dalam ekosistem IHT.

Misalnya, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak yang tertuang dalam pasal 434 PP 28/2024. Menurut dia, aturan tersebut belum tertulis jelas yang dimaksud tempat pendidikan seperti apa.

"Saya bicara radius 200 meter. Saya bilang, itu kan implementasi lapangannya nggak sesederhana hanya ditulis di aturan contoh, di situ sudah ada warung rokok berikutnya ternyata, ada orang buka les di situ ternyata tadi diurai, yang dimaksud itu tempat pendidikan itu apa memang juga belum dijelaskan," kata Sudarto saat ditemui di depan Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kamis (10/10/2024).

Kemudian aturan terkait kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari PP No. 28 Tahun 2024. Dia menjelaskan aturan tersebut dapat memicu rokok gelap di tengah masyarakat. Sebab, masyarakat tidak dapat membedakan kelas-kelas rokok.

"Karena argumen kita mengatakan begini kalau rokok itu polos, kita mana taju rokok ini kelas A, kelas B, kelas C golongan 1, golongan 2, golongan 3, bahkan termasuk rokok gelap. Kan buat negara sendiri susah. Padahal rokok itu ada kelompok golongannya, grid-grid-nya," jelasnya.

Lihat Video: Temui Petani Tembakau di Temanggung, Gibran Dicurhati Masalah Pupuk

[Gambas:Video 20detik]

(fdl/fdl)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global