Permendag 8/2024 Disebut Bukan Penyebab Sritex Pailit, Ini Alasannya

1 week ago 13

Jakarta -

Industri tekstil tengah mengalami tekanan, bahkan membuat raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit. Salah satu aturan yang disebut menjadi penyebab babak belurnya perusahaan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

Ekonom memandang aturan tersebut tidak bisa dikatakan menjadi biang kerok penyebab Sritex pailit. Ekonom sekaligus Dosen Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan sudah sejak 1 dekade lalu industri tekstil sudah mengalami tekanan. Maka kondisi saat ini harus dilihat secara objektif.

"Apakah (Permendag 8 tahun 2024) ini merugikan (industri tekstil)? Ini harus dites lagi. Ketika permendag dijadikan semacam 'kambing hitam' makanya harus diuji dulu. apakah benar karena peraturan tersebut mereka menjadi tertekan," kata Fithra dalam keterangannya, Senin (4/11/2024). .

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, untuk menguji Permendag 8/2024 tidak bisa dilakukan hanya dalam satu atau dua tahun setelah terbitkan. Apalagi sudah sejak 10 tahun ini, industri tekstil mengalami tekanan.

"Tapi kalau menguji suatu industri tidak bisa setahun dua tahun. (Industri tekstil tertekan) Itu kan merupakan suatu hal yang bertahun-tahun. Kemudian industri tersebut bermasalah (karena) satu peraturan saja langsung collapse itu bukan karena itu tapi itu sebuah konsekuensi dari perjalanan yang sudah menahun," tuturnya.

Untuk kasus Sritex, dia mengatakan tidak bisa menyalahkan Permendag 8/2024 sebagai biang kerok. Pailitnya Sritex harus dilihat secara menyeluruh, salah satunya dari kinerja perusahaan.

"Sritex yang membangun industri tekstilnya hanya kepada satu atau dua segmen saja itu membuat kemampuan membayar (utangnya) diragukan. Sehingga saya melihat Permendag 8 tahun 2024 itu bahkan bukan penyebab. Penyebabnya inefisiensi dari Sritex sendiri karena mismanagement," ungkapnya.

Untuk itu, dia menyarankan agar industri tekstil bisa bertumbuh positif maka perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh. "Dari sisi industri tekstilnya sudah harus ada pembenahan industri secara massif dalam konteks ekosistemnya," jelasnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Faktor Penyebab Industri Tekstil Tertekan

Fithra mengatakan ada banyak faktor yang menyebankan industri tekstil tertekan. Dia mencontohkan salah satu penyebab industri tekstil tertekan yakni ongkos produksi yang cukup mahal.

Menurutnya, ongkos produksi yang mahal membuat industri dalam negeri mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produk lain. Apalagi ongkos produksi yang mahal tidak diimbangi produktivitas yang memadai.

"Pertama dari sisi ongkos produksi. Ongkos produksi ini berasal dari dua hal pertama adalah tenaga kerja dari sisi tenaga kerja dalam konteks produktivitas relatif dari negara-negara lain relatif tertinggal. Kalau kita lihat dari upah dari tenaga itu tidak sebanding dengan kenaikan produktivitasnya. Jadi upahnya itu lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan dengan produktivitasnya," tuturnya.

Faktor lain, input produksi juga menghadirkan tekanan tersendiri bagi industri tekstil. Dia mengatakan saat ini, banyak pelaku usaha yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.

"Jadi ketika industri tekstil ingin mendapatkan input produksi yang tentu semua tidak berasal dari dalam negeri yang tentu juga berasal dari luar negeri, itu juga dipenuhi pembatasan-pembatasan. Banyak sekali peraturan impor yang membatasi sehingga membuat industri tekstil kesulitan untuk mendapatkan akses bahan baku murah," jelasnya.

Menurutnya, kesulitan bahan baku murah membuat harga hasil produksi sulit untuk bersaing dengan produk lainnya. Sehingga harga yang dihadirkan tidak kompetitif.

"Dua hal ini kemudian yang membuat pricing (harga produk) menjadi tidak kompetitif. Karena ongkos produksinya itu sudah relatif mahal dari sisi penggunaan tenaga kerja dan juga penggunaan input produksi. Makanya Ketika mau dikasih harga, harganya jadi tidak kompetitif. Ini juga menjadi masalah jadi kalau kita lihat dari sisi global," ungkapnya.

Belum lagi faktor seperti pandemi COVID-19 hingga perang terjadi di sejumlah negara juga menjadi salah satu penyebab industri tekstil dalam negeri mengalami tekanan.

"(Perang) Pasti ini terjadi penurunan global demand. Setelah pandemi membuat demand global dan domestik terdampak. Plus ditambah COVID-19 bukan cuma daya beli turun tapi dari sisi produksi harus shut down. Ketika shutdown menjadi beban tambahan (untuk industri tekstil). Karena harus membayar tenaga kerja dan operasional," tutupnya.

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global