Jakarta -
Para petani tembakau secara tegas menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024.
Perlu diketahui PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan) terdapat pasal yang mengatur seluruh kemasan rokok di Indonesia harus memenuhi ketentuan standardisasi atas desain dan tulisan produk.
"Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan," tulis Pasal 435 PP tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah standardisasi yang dimaksud Pasal inilah yang dalam RPMK diusulkan menjadi penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dan Kemudian mendapat penolakan dari petani tembakau.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnasi Mudi pada awalnya mengatakan bahwa aturan terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek tersebut tidak memberikan dampak langsung kepada para petani.
Sebab salah satu dampak yang ditimbulkan dari aturan itu adalah maraknya peredaran rokok ilegal, di mana bagi petani baik rokok legal maupun rokok ilegal sumbernya sama-sama dari mereka. Sehingga selama hasil pertanian mereka terserap, mereka tidak memperhatikan aturan standardisasi kemasan itu.
"Sebetulnya kalau sepanjang dari sektor hulu itu, produk dari hulu itu tembakau petani masih dibeli oleh pabrikan sebenarnya nggak ada masalah oleh siapapun, yang penting dipergunakan untuk produk rokok, nggak ada masalah," kata Kusnasi kepada detikcom, Jumat (1/11/2024).
Namun untuk jangka panjang, aturan tersebut berpeluang mengganggu iklim IHT di sektor hilir yakni para produsen rokok. Di mana hal ini dapat berimbas terhadap hasil penyerapan tembakau para petani.
"Tapi permasalahannya adalah nanti jika terkait kemasan polos ini sama artinya pemerintah akan melegalkan yang ilegal, takutnya dari situ. Walaupun sebenarnya rokok-rokok ilegal juga sumbernya sama, tembakaunya dari petani, sebenarnya nggak ada masalah. Tapi dalam jangka panjang kan nggak mungkin," tambahnya.
Belum lagi, selama ini lebih dari 90% hasil tembakau para petani diserap oleh industri rokok konvensional alias perusahaan-perusahaan legal. Sehingga kalau kinerja produsen rokok legal ini terganggu, tentu akan sangat berdampak pada jumlah penyerapan tembakau hasil panen para petani.
"Memang produk yang kita hasilkan itu kan semuanya diserap oleh industri, 90% lebih, hampir 99% katakanlah diserap oleh industri kita. Nah jika industri ini kolaps, ya artinya siapa nanti yang beli tembakau?" ucapnya.
Belum lagi pemerintah juga belum memiliki inovasi terkait penggunaan tembakau untuk industri lain, yang membuat stabilitas para pembuat rokok berpengaruh sangat besar terhadap para petani.
"Karena saat ini pemerintah nggak punya inovasi, kita belum punya inovasi tembakau ini dipergunakan untuk apa selain rokok. Kan belum ada, misalnya banyak kalangan menyampaikan bahwa tembakau bisa dipakai untuk pestisida, untuk parfum, untuk herbal, itu juga bisa," terang Kusnasi.
"Artinya kan memang aturan-aturan, regulasi, pengetatan-pengetatan yang dibuat oleh pemerintah ini sudah sangat berdampak (terhadap sektor hilir). Apalagi nanti kalau terkait kemasan kosong," ucapnya lagi.
Bahkan menurut Kusnasi berbagai tekanan yang diterima industri rokok saat ini saja sudah dirasakan para petani. Di mana ada beberapa pabrik tembakau yang pada 2024 ini tidak melakukan pembelian komoditas tembakau.
"Kalau penjualan rokok yang dari industri kita itu turun, artinya kan penyerapannya dari petani juga turun. Tahun ini saja ada beberapa perusahaan yang mereka tidak melakukan pembelian. Apakah alasan karena penjualannya turun atau memang mereka sengaja tidak membeli," terang Kusnasi.
"Misalnya di Temanggung. Di Temanggung itu ada salah satu perusahaan besar yang setiap tahun melakukan pembelian, tapi tahun ini tidak beli. Kemudian di Jawa Timur, di kawasan Probolinggo itu juga sama, mereka juga tidak melakukan pembelian. Bahkan ada dua atau tiga perusahaan yang tidak melakukan pembelian," paparnya lagi.
Belum lagi dengan rendahnya penyerapan komoditas tembakau ini secara langsung juga menurunkan harga jual dari petani. Di mana sejauh ini rata-rata harga tembakau sudah turun sekitar 10% dibandingkan tahun lalu.
"Kalau ada salah satu atau dua perusahaan yang tidak melakukan pembelian, artinya tingkat kompetisinya tidak ada. Malah nanti harganya turun. Seperti di Temanggung sekarang tembakau petani banyak yang belum terserat," kata Kusnasi.
"Tahun lalu yang 2023 itu harga tembakau memang sangat tinggi. Kalau sekarang ya kurang lebih sekitar 10% penurunan harga," tambahnya.
Lihat Video: Temui Petani Tembakau di Temanggung, Gibran Dicurhati Masalah Pupuk
(fdl/fdl)