5 Perusahaan Jadi Tersangka Kasus Timah Rp 300 T

1 month ago 18

Jakarta -

Lima perusahaan dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015-2022 senilai Rp 300 triliun.

Lima perusahaan yang menjadi tersangka baru dalam perkara tindak pidana korupsi timah diantaranya, PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Febrie Adriansyah menjelaskan ada beberapa klaster perbuatan yang mengakibatkan kerugian dari kasus korupsi PT Timah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, adanya kerja sama sewa alat atau smelter pihak swasta dengan PT Timah. Kemudian yang kedua, Febrie menjelaskan adanya perbuatan tentang transaksi timah dari PT Timah yang dilakukan penjualan oleh pihak swasta. Lalu Febrie menerangkan dari hasil pemeriksaan alat bukti, penyidik memastikan peran dan berapa uang yang diterima oleh masing-masing tersangka.

Dia menyebut hal itulah yang menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum untuk melakukan pembebanan uang pengganti. Sementara melalui hasil ekspose, Jaksa Agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup ini dibebankan ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing perusahaan tersebut.

"Itu juga sudah ada dalam putusan pengadilan sehingga ditetapkan yang pertama adalah Korporasi PT RBT, yang kedua PT SIP Strandio Inti Perkasa. Yang ketiga, korporasi PT Timinido Internusa, keempat PT Sariguna Bina Sentosa, lima CV Venus Inti Perkasa," terang Febrie dikutip dari detikNews, Jumat (3/1/2025).

Lebih lanjut Febrie menerangkan masing-masing kerugian kerusakan lingkungan hidup yang dibebankan kepada lima korporasi tersebut. Dia mengatakan pembebanan ini berdasarkan hasil alat bukti maupun keterangan ahli yang diperoleh jaksa dan disetujui dalam putusan hakim.

Untuk PT RBT dibebankan dengan jumlah Rp 38.539.212.949.330,8. PT SB 23.670.769.700.728,8, PT SIP 24.311.841.441.084,4, PT TIM 23.670.769.700.728,8, dan PT VIP 42.155.825.740.622,8.

Terpisah, Pakar Hukum Pidana Chairul Huda mengatakan, status tersangka tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum positif lantaran kelima perusahaan belum terbukti melakukan kerusakan lingkungan yang dihitung sebagai kerugian keuangan negara.

"Kalau soal bisa si bisa saja (penetapan tersangka, dia (Kejagung) punya kewenangan untuk itu, tapi kan secara normatif tidak benar dong," ujar Chairul Huda.

Adapun, nilai kerugian keuangan negara dari kasus korupsi timah yang dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencapai Rp300 triliun. Hanya saja, angka kerugian itu belum dapat dibuktikan hingga saat ini.

"Saya kira Rp300 triliun, mana Rp300 triliun? Yang namanya Rp300 triliun itu kan tidak terbukti. Karena tidak terbukti itulah sementara dia sudah gembar-gembor dan bagaimana untuk menutupi tersangka dari perusahaan-perusahaan itu," paparnya.

Chairul Huda melihat Kejagung gagal membuktikan adanya kerugian negara di balik aktivitas penambangan di Kepulauan Bangka Belitung. Akibatnya, lembaga pemerintah ini harus menetapkan perusahaan yang dinilai jadi bagian dari kasus korupsi timah.

"Jadi ini merupakan wujud dari kegagalan Kejagung yang mereka (belum) membuktikan berapa nilai kerugian yang digembar-gemborkan selama ini, di kasus sepertinya Rp300 triliun," ucap dia.

Bahkan, langkah Kejagung dipandang sebagai cara agar aset yang sudah disita tidak dikembalikan lagi kepada pihak-pihak yang dari mana barang tersebut disita.

"Iya sebenarnya tidak dibenarkan, ini menunjukkan bahwa cara-cara Kejaksaan Agung ini kan, karena dia melihat hasil pengadilan terhadap terdakwa-terdakwa individu itu kan, tidak seperti yang mereka harapkan," tuturnya.

"Jadi cari cara untuk kemudian barang-barang, uang yang dicita itu bisa bisa tidak harus dikembalikan kepada pihak-pihak yang dari mana barang itu disita," lanjut dia.

Status tersangka yang disematkan Kejagung kepada lima korporasi bisa memberi dampak buruk bagi pendapatan negara. Huda mencatat, pajak yang biasanya diterima negara dari lima perusahaan akan berkurang karena tidak beroperasi atau menurunnya produktivitas.

"Jangan sampai menegakkan hukum terhadap korporasi itu menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Ini yang tidak dipahami oleh Kejaksaan," ucap dia.

(rrd/rrd)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global