Jakarta -
Pengusaha menyoroti rencana Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang semakin menekan industri.
Regulasi yang sedang disusun adalah syarat kemasan rokok menjadi polos tanpa logo merk. Menurut Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, industri rokok sudah dibebani dengan 480 aturan, baik dari sisi fiskal maupun non fiskal.
Aturan tersebut mayoritas berisi soal pembatasan. Apalagi Industri Hasil Tembakau (IHT) mengalami kontraksi akibat pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu kami sampaikan, IHT telah diatur melalui banyak regulasi. Kami mencatat ada lebih dari 480 peraturan di berbagai tingkatan yang mayoritas berisi pembatasan. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, IHT juga mengalami kontraksi akibat pandemi dan kebijakan fiskal yang eksesif," katanya kepada detikcom, Kamis (10/10/2024).
"Dengan munculnya pengaturan baru seperti Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2024 yang antara lain membatasi nikotin dan tar, melarang bahan tambahan di produk tembakau dan diberlakukannya standarisasi kemasan, akan membuat produk kami berupa kretek menjadi terpuruk," sambung dia.
Terkait standarisasi kemasan, dampaknya tidak hanya menurunkan penjualan, tetapi juga akan menjadi karpet merah bagi rokok ilegal, karena semakin sulit membedakan satu merek dengan merek lain.
"Saat ini, yang beda-beda merek dan warnanya saja rokok ilegal cukup marak, apalagi nanti jika distandarkan. Standarisasi kemasan tentu akan menyuburkan rokok ilegal," sebutnya.
Padahal, menurunnya penjualan rokok legal berakibat berkurangnya munculnya lay off karena berkurangnya permintaan. Dampak ikutannya, permintaan tembakau dan cengkeh dari petani pun berkurang yang membuat harga jual tembakau dan cengkeh turun.
Dampak lainnya akan berpengaruh bagi penerimaan negara yang menjadi berkurang karena turunnya permintaan. Karena itu, Henry berharap pemerintah berpikir ulang untuk menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 yang sangat eksesif.
"Hal lainnya, larangan penjualan rokok pada radius 200 meter dari satuan pendidikan memiliki dampak yang sangat luas. Apalagi satuan pendidikan ini banyak bentuknya. Selain formal juga ada nonformal dan informal. Dengan berlakunya larangan tersebut, dampaknya bisa kemana-mana," beber Henry.
Dampak paling berat akan dialami oleh pengecer yang berada dekat dengan satuan pendidikan karena tidak lagi dapat menjual produk tembakau di lokasi tersebut. Larangan penjualan ini, kata dia, akan sangat berpengaruh pada pedagang kecil yang selama ini menggantungkan usahanya pada penjualan produk tembakau.
"Menurut kami, larangan penjualan juga akan menyebabkan kesulitan operasional. Padahal, rokok adalah produk legal yang dibuktikan dengan dikenakannya cukai," imbuhnya.
Henry menyebut banyak pihak telah menyuarakan penolakan terhadap berbagai pengaturan yang penuh dengan larangan, termasuk standarisasi kemasan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan tersebut belum sesuai dengan harapan masyarakat.
"Karena itu, kami berhadap, terutama kepada Presiden dan jajaran kabinet baru, agar pengaturan yang memberatkan IHT di-hold terlebih dahulu, didiskusikan kembali, sampai pada titik keseimbangan pengaturan yang mengakomodasi semua pihak," tutupnya.
Simak Video: Gaprindo Singgung Kenaikan Peredaran Rokok Ilegal di RI
(ily/rrd)