Jakarta -
Pemerintah berencana akan menetapkan serangkaian aturan baru untuk peredaran produk rokok di dalam negeri hingga menuai kritik dari berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga aturan baru, antara lain kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan rokok.
Hal tersebut tertuang dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya telah melibatkan pengusaha dalam proses pembahasan kebijakan ini. Adapun elemen pengusaha tersebut salah satunya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sebenarnya melibatkan Apindo untuk diskusi (RPP Kesehatan) ini, tinggal sekarang sedang dalam proses finalisasi dengan mereka," kata Budi Gunadi, ditemui di Sheraton Grand Hotel, Gandaria City, Jakarta Selatan, Selasa (8/10/2024).
Budi Gunadi juga memastikan, suara para pengusaha telah didengar dan menjadi bahan pertimbangan. Proses penyesuaian untuk aturan turunan ini pun masih terus berjalan.
"Memang kita dengarkan kok. Karena masih proses (penyusunan RPP Kesehatan) memang," ujarnya.
Sebagai tambahan informasi, kalangan pengusaha sebelumnya telah menyampaikan kritik atas RPP Kesehatan tersebut. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan penjualan ritel akan tergerus cukup besar yakni antara 5% sampai 8%. Angka itu merupakan besaran penjualan rokok di ritel modern.
"Dampaknya, perdagangan rokok di ritel itu 5%, ada yang sampai 8% lebih kurang dari total penjualan. Jadi bisa dibayangkan berapa dampak ekonominya ketika pasal karet itu dipaksakan masuk ke dalam RPP Kesehatan," ujar Roy ditemui di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2024).
Pasal yang memberatkan pengusaha ritel terkait perlu ada jarak penjualan rokok dari pusat pendidikan minimal 200 meter. Roy pun meminta pemerintah memperjelas pusat pendidikan seperti apa yang dimaksud.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman menilai langkah itu terburu-buru dan akan menambah beban bagi ekosistem pertembakauan. Menurutnya juga kejar target penyusunan Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) atas PP No.28 Tahun 2024 ini akan memperlebar jurang ekonomi dan menambah tingkat pengangguran nasional.
"Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa dari Januari hingga Juni telah terjadi PHK bagi sebanyak 101.536 pekerja di seluruh Indonesia. Situasi ini menjadi sebuah ironi, mengingat ada enam juta tenaga kerja ekosistem pertembakauan yang akan terkena dampak dari keputusan Kemenkes yang buru-buru dalam implementasi PP Kesehatan yang sangat polemik ini," ujar dia dalam keterangannya Rabu (4/9/2024).
Budhyman memaparkan ada 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, dan 600 ribu tenaga kerja sigaret kretek tangan (SKT) yang berada di sisi hulu ekosistem pertembakauan. Menurutnya jutaan petani dan pekerja itu akan terkena imbas dari PP No.28 Tahun 2024 yang eksesif dan menekan sisi hilir IHT.
"Tenaga kerja adalah sumber daya yang memegang peranan penting dalam berbagai jenis serta tingkatan dalam ekosistem pertembakauan. PP Kesehatan yang sejatinya fokus mengatur tentang sektor kesehatan ternyata turut mencakup pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif yang bukan lagi mengatur pertembakauan tapi mematikan," tegas Budhyman.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025 mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk kalangan ekonom, salah satunya adalah Prof. Chandra Fajri Ananda dari Universitas Brawijaya Malang. Ia menilai langkah pemerintah ini patut diapresiasi karena memberikan ruang lebih bagi industri tembakau untuk berkontribusi pada penerimaan cukai dan penyerapan tenaga kerja.
Chandra mengungkapkan bahwa kenaikan cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan negara dari CHT. "Dengan pendekatan Kurva Laffer, kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas. Dengan kata lain, jika tarif cukai terus mengalami kenaikan, maka penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan," ujarnya. Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di industri tembakau, termasuk pada rantai pasok dan distribusi.
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ini menghimbau bahwa tidak adanya kenaikan CHT pada 2025 jangan sampai diikuti oleh kenaikan tarif cukai yang drastis pada 2026. "Kenaikan tarif cukai (hasil tembakau) di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat," tegasnya.
Chandra juga menggarisbawahi pentingnya percepatan pengesahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pelaksanaan keputusan pemerintah yang sudah disepakati dalam UU APBN 2025 mengenai tidak adanya kenaikan CHT. "PMK diharapkan dapat diterbitkan (segera) untuk untuk dasar pelaksanaan dan kepastian berusaha," ucapnya.
Di sisi lain, adanya rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang menimbulkan polemik dan mendapatkan penolakan dari berbagai pihak di industri tembakau juga menjadi sorotan Prof. Chandra. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini bisa berdampak negatif bagi industri rokok legal dan sektor terkait lainnya. "Kemasan (rokok polos) tanpa merek dapat mengurangi daya saing produk dan menghilangkan identitas visual," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa tanpa identitas merek yang jelas, konsumen akan lebih sulit membedakan antara produk legal dan ilegal, yang dapat merugikan produsen resmi serta mengancam penerimaan negara. "Kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, yang juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK)," jelas Chandra.
Di kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, turut menanggapi upaya pemerintah untuk tidak menaikkan CHT pada 2025. Menurutnya, kebijakan kenaikan cukai secara eksesif itu tidak efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok.
"Karena yang terjadi adalah ketika pemerintah menaikkan cukai rokok, maka harga rokok jadi mahal. Tetapi, jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah lainnya, maka masyarakat akan melakukan downtrading, mereka membeli rokok yang lebih murah atau rokok ilegal yang dalam tanda kutip tidak bercukai," jelasnya.
Ke depannya, Piter mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan kenaikan cukai yang tidak disertai dengan pengawasan dan pengendalian yang bersifat edukatif dapat semakin mendorong peralihan konsumsi ke rokok ilegal secara lebih cepat. Oleh karena itu, pemerintah disarankan untuk merumuskan kebijakan evaluasi yang lebih menyeluruh.
Simak Video: Sederet Larangan Jokowi soal Rokok
(shc/kil)