Bisakah Audit BPKP Tentukan Kerugian Negara di Kasus Timah?

2 months ago 34

Jakarta -

Persidangan kasus korupsi pengelolaan timah masih terus berlangsung, di mana berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengaudit kasus ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp 300,003 triliun.

Angka kerugian sebesar itu, salah satunya berdasarkan perhitungan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Dikutip dari Detiknews, Rabu (27/11/2024), menurut Bambang, angka kerugian itu mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun.

Bambang menjelaskan angka Rp 271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Dia merinci perhitungan kerugian dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Rinciannya sebagai berikut:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kerugian Kawasan Hutan;
- Kerugian lingkungan ekologisnya Rp 157,83 T
- Ekonomi lingkungannya Rp 60,276 T
- Pemulihannya itu Rp 5,257 T.

Total untuk yang di kawasan hutan adalah Rp 223.366.246.027.050.

Kerugian Non Kawasan Hutan;

- Biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun
- Kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 T
- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6,629 T.

Total untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 triliun

"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah 271.069.687.018.700," kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.

Bambang mendata total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare.

"Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare," ujar dia.

Prof. Romli Atmasasmita, seorang ahli hukum, sekaligus juga salah satu perancang UU Tipikor, mengkritisi metode penghitungan kerugian negara yang digunakan dalam perkara tersebut.

Menurutnya sebagai saksi ahli, penghitungan kerugian negara seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

"Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam Undang-Undang (UU). Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan. Namun, mengukur kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP, melainkan oleh ahli lingkungan," jelas Prof. Romli dalam persidangan beberapa hari lalu.

Ia juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yang menghapus istilah "dapat" dalam frasa menimbulkan kerugian negara.

MK menghapus kata "dapat" dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) dan dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

"Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret," tegasnya.

Dalam kasus ini, penggunaan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga dinilai bermasalah.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun menyebut bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.

"BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK," tambahnya.

Menurutnya, laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih kasus ini menyasar pihak swasta yang nota bene hanya partner kerja dari anak usaha BUMN tersebut.

"Bahasa saya ini dipaksakan. Perbuatan melawan hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau di level direksi (PT Timah) ada pelanggaran wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian," ujarnya.

(rrd/rir)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global