Jakarta -
Pemerintah tidak akan menaikkan tarif cukai pada 2025, namun pemberantasan rokok ilegal tetap mesti digencarkan karena mengganggu pertumbuhan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Candra Fajri menyatakan, rokok golongan 1 memiliki elastisitas harga yang negatif yang ternyata lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan konsumen rokok golongan 2 dan 3.
"Hasil analisis tersebut selaras dengan perkembangan industri hasil tembakau (IHT), di mana penurunan produksi terjadi paling besar pada golongan 1 sehingga berdampak juga pada penurunan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT)," kata Candra, di Jakarta, Minggu (29/9/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, ketika tarif cukai naik dan harga rokok Golongan 1 (rokok mahal) menjadi semakin tinggi, konsumen yang sensitif terhadap harga mungkin mulai berpindah ke rokok golongan 2 dan 3 atau golongan yang lebih murah, yang cukainya lebih rendah.
"Sehingga sebetulnya, jumlah total rokok yang dikonsumsi tidak berkurang, hanya pergeseran dari produk mahal ke yang lebih murah terjadi pada konsumen," katanya.
Menurutnya, peredaran rokok ilegal di Indonesia telah meningkat seiring dengan kenaikan harga rokok akibat tarif cukai yang terus naik. Meskipun pemerintah telah meningkatkan operasi penindakan terhadap rokok ilegal, data menunjukkan bahwa ketika harga rokok meningkat, jumlah rokok ilegal yang beredar di pasaran turut mengalami peningkatan.
Pada tahun 2023, hasil penelitian PPKE FEB UB mengungkapkan, lebih dari 40% konsumen rokok pernah membeli rokok polos tanpa pita cukai. Selain itu, simulasi yang dilakukan oleh PPKE menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0% hingga 50% dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal dari 6,8% menjadi 11,6%.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi CHT yang hilang akibat peredaran rokok illegal seiring dengan kenaikan tarif cukai, dari 4,03 triliun rupiah ketika tidak ada kenaikan tarif cukai (0%), hingga mencapai 5,76 triliun rupiah ketika cukai dinaikkan sebesar 50%.
Perlu dicatat bahwa angka tersebut diasumsikan bahwa pemerintah juga masih menjalankan upaya pengawasan dan penindakan rokok illegal sebagaimana yang dilakukan saat ini.
"Ini menjadi indikasi bahwa kebijakan cukai yang terlalu ketat dapat memperparah peredaran rokok ilegal dan menimbulkan kerugian bagi negara," ujarnya.
Dalam konteks inilah, PPKE FEB UB merekomendasikan 3 (hal) penting bagi pemerintah. Pertama, moratorium kenaikan tarif cukai untuk menjaga keberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sambil tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.
Kedua, apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4 - 5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).
"Pada tarif ini, penerimaan negara dari CHT cukup signifikan dan risiko peningkatan rokok ilegal lebih rendah," ujar Candra Fajri.
Ketiga, mendorong pemerintah terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal dan menyesuaikan harga rokok sesuai daya beli masyarakat.
"Langkah-langkah ini perlu dilakukan agar kebijakan tarif cukai dapat memberikan solusi yang seimbang bagi konsumen, produsen, dan penerimaan negara," katanya.
Menyikapi hasil kajian PPKE FEB UB, sekjen Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Petrus Riwu mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok di atas 10% setiap tahun dapat menyebabkan masyarakat beralih ke rokok dengan harga lebih murah atau bahkan rokok ilegal, terutama pada golongan 2 dan 3.
"GAPPRI merekomendasikan moratorium kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) selama 2025-2027 serta tidak menaikkan PPN untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan industri dan daya beli masyarakat. Serta, lebih menggencarkan operasi penindakan rokok ilegal untuk menekan peredarannya," ujarnya.
Kepala kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I, Untung Basuki mengatakan, saat ini peredaran rokok ilegal telah menyebar hingga ke wilayah Makassar, Lampung, dan Kalimantan. Diakui Untung Basuki, sejatinya penindakan terhadap rokok ilegal telah meningkat, namun masih diperlukan strategi berbeda sesuai dengan wilayah produksi dan distribusi.
"Tantangan pemerintah saat ini semakin sulit dalam melakukan pengawasan rokok illegal. Pasalnya, distribusi yang ada kini tidak lagi menggunakan metode konvensional melainkan melalui jalur logistik yang lebih rumit, seperti e-commerce," terang Untung Basuki.
Untung Basuki menegaskan, salah satu strategi Bea Cukai dalam menekan peredaran rokok illegal adalah berfokus ke aspek rokok ilegal yang salah peruntukan dan salah personalisasi sehingga bisa dimitigasi.
"Pentingnya memanfaatkan teknologi, seperti penggunaan QR code pada pita cukai, untuk memitigasi peredaran rokok ilegal," tukasnya.
Simak Video: Bea Cukai Ungkap Modus Penyelundupan Miras dan Rokok Ilegal Rp 165 Miliar
(rrd/rir)