Jakarta -
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terutama terkait aturan kemasan rokok polos (plain packaging) alias tanpa merek. Selain itu, saat ini pelaku industri rokok sudah dihadapkan banyaknya aturan yang mencapai 480 aturan.
Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan mengatakan, bisnis industri hasil tembakau (IHT) legal nasional sudah berjalan hampir satu abad. Hingga saat ini masih berjalan dengan baik hingga membentuk mata rantai dari hulu ke hilir melibatkan masyarakat lokal.
Apalagi, saat ini pengusaha rokok juga telah diawasi dan diatur dengan lebih dari 480 peraturan yang ketat, baik sisi fiskal maupun non fiskal yang meliputi peraturan daerah, bupati, wali kota, gubernur, sampai kementerian dan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ratusan aturan (heavy regulated) yang membebani IHT legal nasional layaknya BUMN yang dikelola swasta," kata Henry Najoan di Jakarta, Rabu (2/10/2024).
Terbitnya PP 28/2024 pada 26 Juli lalu terus menuai penolakan dari sejumlah stakeholders, termasuk ekosistem pertembakauan. Kemudian, muncul RPMK yang semakin menuai berbagai reaksi serupa.
"Aturan tersebut inkonstitusional dan tidak melibatkan semua pihak terkait seperti kementerian terkait, para pelaku usaha, pekerja, dan petani dalam penyusunannya," ujar Henry Najoan.
Menurut Henry Najoan, kebijakan yang diatur dalam PP 28/2024, khususnya mengenai penerapan kemasan polos (plain packaging), dinilai akan berdampak negatif terhadap industri rokok, terutama untuk rokok kretek yang menguasai pasar sebesar 75 persen di Indonesia.
Henry Najoan bahkan meyakini, kemasan polos akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah.
"Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal," ujar Henry Najoan.
Data Kementerian Perindustrian menyatakan, total tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang, mulai buruh, petani tembakau, petani cengkeh, dan sektor terkait lain.
"Mereka terancam dengan kebijakan itu sehingga akan menciptakan kemiskinan baru," tegas Henry Najoan.
Merujuk kajian GAPPRI, aturan kemasan polos merupakan duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Jika diimplementasikan akan memperburuk situasi dengan semakin meningkatkan daya tarik rokok ilegal," kata Henry Najoan.
Sementara, anggota DPR RI periode 2024-2029, Mukhamad Misbakhun mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan ekosistem tembakau yang mempunyai peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi FCTC, terbitnya PP 28/2024, dan RPMK.
"Proses membajak kebijakan negara yang seperti itu harus diluruskan," tegas Misbakhun.
Misbakhun meminta Pemerintah melindungi industri hasil tembakau, utamanya rokokk retek di tanah air dari intervensi asing. Apalagi, industri ini sebagai salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar.
"Jangan sampai kita diinjak oleh konspirasi global yang menginfiltrasi kebijakan nasional untuk kepentingan pihak tertentu," imbuhnya.
Politisi partai Golkar itu melanjutkan, industri hasil tembakau tidak hanya berhubungan dengan sektor kesehatan, tapi juga sektor lainnya yang berhubungan, mulai dari industri, pertanian, hingga tenaga kerja atau buruh. Misbakhun menilai, rokok kretek seperti sigaret kretek tangan (SKT) yang menjadi ciri khas rokok Indonesia, perlu mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah.
Adanya pertarungan yang sangat ideologis antara anti rokok dengan pendukung sektor pertembakauan ini menjadi sangat diametrikal. Negara, di mata Misbakhun juga tidak adil.
"Saya mengharapkan ada upaya-upaya yang lebih obyektif dan komprehensif melihat ekosistem pertembakauan di Indonesia dengan meninjau ulang berbagai regulasi yang diskriminatif terhadap kelangsungan iklim usaha ekosistem pertembakauan," ungkapnya.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengatakan aturan turunan itu akan berdampak besar pada keberlangsungan nasib petani tembakau dan cengkeh yang merupakan bahan baku dari rokok. Seperti diketahui PP kesehatan itu salah satu yang diatur adalah pengetatan penjualan rokok di pasaran.
"Di tengah kondisi ekonomi yang berat saat ini, IHT sedang menghadapi menghadapi berbagai tantangan yang bertubi-tubi. IHT terancam dimatikan lewat sederet pasal-pasal pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2024 (PP Kesehatan) serta aturan pelaksananya yakni Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang sedang diburu-buru penyelesaiannya. Pengaturan terkait produk tembakau di dalam RPMK sangat meresahkan dan dampaknya sangat suram bagi hulu-hilir ekosistem pertembakauan," ujar Ketua Umum AMTI I Ketut Budhyman, dalam keterangannya, Rabu (2/10/2024).
Budhyman memaparkan mulai dari 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000-an tenaga kerja sigaret kretek tangan (SKT), pedagang, UMKM, hingga 725.000 tenaga kerja industri media kreatif sebagai bagian dari ekosistem pertembakauan akan terkena dampak RPMK.
"Kami, elemen ekosistem pertembakauan bukanlah pihak yang anti-regulasi. Kami bersedia, siap, dan pada praktiknya, selalu mematuhi peraturan yang ada. Sayangnya, dalam setiap penyusunan regulasi pertembakauan, termasuk soal dorongan kemasan rokok polos, kami tidak dilibatkan. Tahu-tahu sudah ada standarisasi yang ditetapkan Kemenkes. Padahal ini dampak domino negatifnya sangat besar, baik kepada pekerja, pedagang dan industri itu sendiri," sebutnya.
Menurut dia, ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari sektor manufaktur terus berjuang mencatatkan kinerja terbaik di tengah ekonomi yang berkembang saat ini. Capaian penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau yaitu 95,4 persen dari target (APBN) atau Rp286,2 triliun.
Begitu juga dengan produksi industri hasil tembakau (IHT) yang berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, produksi rokok nasional dalam 5 tahun terakhir berkurang 10,57% dari 355,84 miliar batang pada 2019 menjadi 318,21 miliar batang pada 2023. Menjaga eksistensi ekosistem pertembakauan menjadi urgensi saat ini.
"Tak bisa dipungkiri bahwa ekosistem pertembakauan telah menjadi motor penggerak ekonomi nasional mengingat size economy-nya yang cukup besar," lanjut dia.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Ali Rido, menuturkan, seharusnya PP pengamanan zat adiktif harus dipisah dari substansi aturan pelaksanaan yang lain. Hal ini dikarenakan, frasa delegasi dalam Pasal 152 UU Kesehatan No. 17/2023 menggunakan frasa ketentuan lebih lanjur diatur dengan.PP, bukan diatur dalam PP.
"Berlandaskan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012-016-019/PUU-IV/2006, frasa "diatur dengan peraturan perundang-undangan" berarti harus diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. Lahirnya PP No. 28/2024 sebagai aturan tunggal pelaksanaan UU Kesehatan, merupakan bentuk ketidakpatuhan konstitusional,"tegas Ali Rido.
Dari segi materiil/substansi, sejumlah baik PP Kesehatan dan RPMK juga menyisakan permasalahan. Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusional ini memaparkan, aturan yang melarang penjualan produk tembakau secara eceran perbatang, cenderung multitafsir dan sulit implementasinya. Hal yang sama, telihat pada larangan jualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
"Konteks ini, menjadi problematik jika dihadapkan pada kasus toko/warung yang eksisting lebih dulu ketimbang satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Idealnya, pemberlakuan pasal ini tidak boleh retroaktif melainkan futuristik. Namun absennya penjelasan keberlakuannya, akan menjadi pasal karet yang kontradiktif dengan asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12/2011,"ujar Ali.
Begitu juga dengan larangan dan pengendalian iklan rokok yang diatur dalam PP No.28 Tahun 2024 dan turunannya dalam RPMK, mengabaikan IHT sebagai industri legal sehingga berhak menggunakan sarana iklan apapun yang tersedia dan tidak dapat dilarang untuk diiklankan, walaupun dengan syarat-syarat tertentu.
"Konstitusionalitas tersebut, terekspose jelas antara lain dalam Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 dan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013. Pengaturan iklan dan promosi yang dituangkan dalam jenis PP, juga tidak koheren dengan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017 yang menegaskan pengaturan promosi dan iklan rokok menjadi wilayah pembentuk undang-undang. Artinya, jenis aturan berupa PP No. 28/2024 tidak seharusnya mengatur iklan dan promosi secara berlebihan karena itu domain legislatif (DPR) melalui undang-undang,"jelasnya.
Ia pun menyayangkan bahwa seluruh elemen ekosistem pertembakauan yang terdampak dalam PP Kesehatan dan RPMK ini sejak awal tidak dilibatkan. Padahal Putusan MK No 91 tahun 2020 bahwa proses peraturan perundang-undangan harus melibatkan partisipasi masyarakat ( meaningfull participation ).
Simak: Cukai Hasil Tembakau, Peluang dan Tantangan dalam Pemberantasan Rokok Ilegal
(ada/rrd)