Duh! RI Kuasai Pasar Sawit Global, tapi Harga Masih Diatur Asing

1 month ago 24

Jakarta -

Hilirisasi industri sawit tercatat berhasil memberikan nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia hingga ratusan triliunan rupiah. Namun sayang, industri yang satu ini masih mendapatkan banyak tekanan, khususnya dari negara luar.

Mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan industri sawit Indonesia hingga pertengahan 2024 memberikan kontribusi pada devisa negara hingga Rp 161 triliun. Industri ini tercatat mampu menyerap tenaga kerja hingga 17-20 juta orang.

"Kita bisa lihat bahwa dari sawit lah misalnya untuk produk perkebunannya di Indonesia, kita bisa saving devisa sekitar dari Rp 35 triliun, bisa saving defisit sekitar Rp 161 triliun. Ini satu yang luar biasa," kata Saleh dalam acara peluncuran bukunya yang berjudul 'Hilirisasi Sawit, Cegah Middle Income Trap' di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di samping itu juga kita bisa pengurangan emisi gas rumah rakyat sebesar kira-kira sekitar 35 juta ton dan menampung tenaga kerja sampai kira-kira resminya, termasuk yang langsung maupun tidak langsung ada sekitar hampir ada yang bilang 17 juta, 18 juta, ada yang bilang 20 juta tenaga kerja yang terlibat," sambungnya.

Lebih lanjut, pria yang menjabat di Kementerian Perindustrian RI 2014-2016 ini mengatakan sawit merupakan satu-satunya komoditas asal Indonesia yang berhasil menguasai pasar global. Namun hingga kini harga produk hasil sawit RI malah masih ditentukan oleh negara lain.

"Sawit ini merupakan produk perdagangan kita, di mana ekspor bisa mencapai US$ 33 (Bea Cukai Keluar CPO/MT) dan juga merupakan produk yang menguasai pasar dunia. Tidak ada satupun produk Indonesia, hanya ada satu yaitu produk-produk sawit yang menguasai pasar dunia," ucap Saleh.

"Namun sangat disayangkan, (Indonesia) menguasai pasar dunia tapi harganya justru dikendalikan oleh orang lain, yaitu di pusat Malaysia maupun di pusat negara lain. Ini kan sesuatu yang sangat aneh, kita yang menguasai produk tapi harga ditentukan oleh orang lain," terangnya lagi.

Belum lagi, menurutnya produk sawit Indonesia juga mendapat opini negatif dari negara asing, khususnya di Eropa yang membuat seakan-akan hasil bumi Nusantara ini memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Padahal banyak negara di Benua Biru itu masih mengekspor produk-produk olahan sawit.

"Seperti Belanda yang selama ini kadang, sering negatif campaign terhadap produk-produk sawit, tetapi kenyataannya dia justru mengekspor produk olahan sawit sebesar 1 juta ton. Nah produknya dari mana? Ya dulu dari Indonesia," terangnya.

Berangkat dari permasalahan ini, Saleh kemudian melakukan penelitian lebih jauh terkait industri kelapa sawit Indonesia saat ini beserta tantangan-tantangan yang dihadapinya. Hasil penelitiannya ini kemudian ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul 'Hilirisasi Sawit, Cegah Middle Income Trap'.

Ia berharap melalui peluncuran buku ini, banyak pihak dapat memahami betul kondisi industri sawit dalam negeri saat ini. Sehingga ke depan sektor agri bisnis satu ini dapat lebih berkembang dan turut mempercepat Indonesia keluar dari middle income trap alias menjadi negara maju.

"Berangkat dari situ akhirnya saya memang waktu itu mau memperdalam untuk penelitiannya agar kita betul-betul produk ini selain kita menguasai produknya, kita juga harus menentukan harganya dan tentu dengan berbagai cara," kata Saleh.

"Ini kita bikin buku tapi jangan hanya di hilirnya saja tetapi kita tarik ke hulunya juga, ke tanamannya. Sehingga orang mengetahui tentang sawit itu secara keseluruhan," terangnya lagi.

Simak: Airlangga: Dana PSR Bagi Pekebun Sawit Bakal Dinaikkan Jadi Rp 60 Juta

[Gambas:Video 20detik]

(fdl/fdl)

Read Entire Article
Industri | Energi | Artis | Global