Jakarta -
Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO) menyampaikan selama sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ekspor alas kaki Indonesia meningkat 64,5%. Namun menurut Ketua Umum APRISINDO Eddy Widjanarko menilai seharusnya ekspor alas kaki bisa tumbuh dua kali lipat.
"Meskipun seharusnya selama satu dekade pertumbuhan ekspor alas kaki bisa mencapai dua kali lipat," ujar Eddy Widjanarko dalam keterangannya, Selasa (15/10/2024).
Pihaknya menilai hal itu karena pada 2022 ekspor industri alas kali RI sempat tembus US$ 7,7 miliar atau tumbuh 88% dibandingkan tahun 2014, awal Jokowi menjabat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, dia menyebut pada pertengahan tahun 2022, terjadi penurunan global demand akibat adanya perang di Eropa antara Rusia dengan Ukraina. Apabila hal tersebut tidak terjadi, dia yakin seharusnya ekspor Indonesia sudah bisa tumbuh dua kali lipat.
Pihaknya pun memperkirakan tahun 2024 ekspor alas kaki akan mencapai US$ 6,7 miliar atau tumbuh 5% dibandingkan tahun 2023.
"Pertumbuhan pesat ekspor alas kaki selama pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kebijakannya yang berani," terangnya.
Menurutnya, Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Pembangunan Infrastruktur secara massif, khususnya jalur tol Trans Jawa menjadi langkah awal yang mampu menahan laju relokasi industri padat karya keluar dari Indonesia.
Beleid tersebut setidaknya berhasil memberikan jaminan keterukuran kenaikan upah minimum karena telah ditetapkan dalam sebuah formula perhitungan. Selain itu, pembangunan tol Trans Jawa telah mampu memangkas waktu tempuh antar daerah di Jawa sehingga membuka peluang pilihan daerah baru di Jawa Barat dan Jawa Tengah bahkan hingga ke Jawa Timur sebagai tujuan investasi untuk industri padat karya.
Di sisi lain, sejumlah Kementerian kemudian menerbitkan sejumlah regulasi pendukungnya. Di mana kemudian Kementerian Perindustrian menerbitkan izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKl). Dengan begitu, industri orientasi ekspor tetap dapat menjaga komitmen terhadap kebutuhan demand dunia. Bahkan dapat merebut order dari negara-negara produsen alas kaki yang melakukan lockdown ketat.
Meskipun struktur industri alas kaki saat ini berada on the right track dan tengah dalam proses pertumbuhan, Eddy menyebut masih ada sejumlah kendala masih menjadi tantangan bagi kemajuan investasi industri alas kaki Indonesia.
"Access to market ke pasar utama di Uni Eropa, ekspor Indonesia masih terbebani bea masuk yang tidak kompetitif. Pasalnya negara pesaing Indonesia yaitu Vietnam telah memiliki Free Trade Agreement dengan Uni Eropa. Sehingga ekspor mereka bisa mendapatkan bebas tarif bea masuk," ujar dia.
Selain itu, bahan baku yang kompetitif masih menjadi penghambat dalam peningkatan ekspor alas kaki Indonesia. Namun demikian, dukungan fasilitas kemudahan impor untuk tujuan ekspor dalam bentuk Kawasan Berikat telah mampu untuk memudahkan aksesibilitas terhadap impor bahan baku yang kompetitif untuk industri.
Sayangnya, tidak semua industri dapat mengakses fasilitas Kawasan Berikat. Sehingga industri dalam negeri, khususnya yang merupakan Perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sulit bersaing untuk pasar ekspor dan domestik. Selain itu, permasalahan klasik birokratisasi perizinan usaha juga masih akan menjadi hambatan investasi masuk.
"Kepastian dalam mendapatkan layanan perizinan mulai dari kepastian dapat izin, kepastian waktu, kepastian jumlah untuk izin yang berbentuk kuota dan besarnya biaya mendapatkan izin masih menjadi kendala. Misalnya hingga saat ini untuk mendapatkan izin lingkungan masih perlu waktu lama bahkan bisa mencapai hingga dua tahun dan dengan biaya yang sangat mahal," urainya.
(das/das)