Jakarta -
Di tengah tantangan penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang ditunda hingga Desember 2025, Indonesia dinilai perlu memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor sawit untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Uni Eropa. Salah satu caranya dengan mencari pasar-pasar di negara lain yang potensial.
Ketua Bidang Kampanye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Edi Suhardi menilai pasar India memiliki potensi sebagai diversifikasi tujuan ekspor sawit selain dari Uni Eropa.
"Berbeda dengan pasar Uni Eropa, India masih tergolong pasar tradisional yang belum mengadopsi platform keberlanjutan secara ketat. Hal ini membuat pasar India memiliki potensi sebagai diversifikasi tujuan ekspor sawit selain dari Uni Eropa," kata Edi dalam keterangan tertulis, Senin (28/10/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edi menegaskan posisi strategis India sebagai pasar utama sawit Indonesia. Ekspor sawit ke India mencapai 5,97 juta ton dengan nilai US$ 5 miliar pada 2023, meningkat signifikan dari 3,2 juta tonpada 2021.
Meski demikian, proyeksi 2024 menunjukkan penurunan ekspor sawit menjadi 5 juta ton akibat kebijakan tarif India yang meningkat tajam dari 5,5% menjadi 27,5% untuk crude oil dan 13,75% menjadi 35,75% untuk refined oil. Tantangan lain muncul dari program pengembangan sawit domestik India yang ditargetkan meningkat dari 400.000 ton menjadi 4 juta ton dalam 7-8 tahun mendatang.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti juga menggarisbawahi urgensi diversifikasi pasar sawit Indonesia. Di samping peningkatan konsumsi dalam negeri melalui program B40, Indonesia dinilai perlu memperkuat penetrasi ke pasar-pasar potensial, salah satunya India.
Tantangan Ekspor Sawit ke India
Meski begitu, ekspansi ke pasar India disebut menghadapi dua tantangan utama. Pertama, sejak September 2024 India menerapkan kenaikan tarif impor untuk produk olahan sawit yang mencakup RBD palmolein dan crude palm oil.
Kedua, India telah meluncurkan program 'National Mission on Edible Oils - Oil Palm (NMEO-OP)' pada Agustus 2021 dengan nilai investasi ₹11.040 crores. Program ini bertujuan meningkatkan produksi sawit domestik melalui perluasan area tanam dari 3,54 lakh hektare (2019-2020) menjadi 16,7 lakh hektare (2029-2030).
Melalui program itu, India menargetkan pengurangan ketergantungan impor dari 58% menjadi 38% pada 2025-2026, meskipun permintaan diproyeksikan naik menjadi 29 juta ton.
Strategi Ekspor Sawit ke India
Menghadapi dinamika pasar India yang kompleks, ada empat strategi kunci yang dinilai perlu diimplementasikan secara komprehensif. Pertama, Indonesia disebut perlu menyesuaikan strategi perdagangannya menghadapi kebijakan proteksionis India.
"Dengan kenaikan tarif yang signifikan mencapai 27,5% untuk crude oil dan 35,75% untuk refined oil, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel untuk mencari keseimbangan baru. Strategi ini harus mampu mengakomodasi kepentingan India dalam melindungi petani lokalnya, sambil tetap mempertahankan nilai strategis perdagangan bilateral," ucap Esther.
Kedua, revitalisasi dan inovasi industri domestik dinilai menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia. Modernisasi teknologi pengolahan dan penguatan program R&D disebut perlu diprioritaskan untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga kompetitif.
"Strategi cost-leadership yang tepat akan membantu industri sawit nasional menghadapi persaingan global sekaligus memperbaiki persepsi produk sawit Indonesia di pasar internasional," ucapnya.
Ketiga, pemahaman mendalam tentang pasar India dinilai perlu ditingkatkan melalui penelitian komprehensif dan dokumentasi strategis. Kurangnya analisis komparatif antara kedua negara selama ini disebut telah menghambat pengembangan kebijakan perdagangan yang efektif.
"Penelitian tentang pola konsumsi dan preferensi pasar India akan membantu mengidentifikasi peluang kerja sama yang saling menguntungkan dan mendukung proses negosiasi perdagangan," imbuhnya.
Keempat, pemerintah dinilai perlu mengambil peran lebih aktif dalam mengatasi berbagai hambatan non-tarif. Dukungan dalam proses registrasi produk dan penanganan isu-isu terkait standar teknis dan sanitasi disebut akan membantu akses yang lebih luas bagi produk sawit Indonesia di pasar India.
(aid/ara)