Jakarta -
Kobalt merupakan bahan utama pembuatan baterai mobil listrik, kendaraan yang diharapkan dapat membantu mengurangi emisi karbon. Green energy sudah menjadi perhatian banyak negara-negara di dunia untuk mencegah perubahan iklim yang makin menjadi.
Ironisnya, di balik tujuan mulia pembangunan mobil listrik, sumber daya manusia yang menambang kobalt terkena dampak yang tak main-main. Di Republik Demokratik Kongo, Afrika, perempuan yang tinggal di sekitar tambang kobalt dilaporkan memiliki peningkatan isu terkait reproduksi. Investigasi telah dipublikasikan oleh aktivis hak asasi manusia berbasis di Inggris, Rights & Accountability in Development (Raid) dan NGO Afrewatch.
Dikatakan bahwa perempuan yang tinggal di area tambang kobalt mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur, infeksi urogenital, mikosis vagina (jamur), bahkan terancam keguguran atau melahirkan bayi dalam kondisi tidak sempurna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seorang dokter anak, yang telah mencatat data pasien sejak 2016, menjelaskan bahwa angka infeksi genital dan patologi kulit di antara pasien perempuan telah meningkat pesat. Ia yakin hal ini terjadi karena populasi ini merupakan pengguna utama 'air kotor', yang membuat mereka sangat rentan terhadap penyakit," kata laporan tersebut.
Secara total, 144 orang yang tinggal di 25 komunitas di dekat lima tambang kobalt industri diwawancarai sebagai bagian dari penelitian ini. Lebih dari separuh dari responden (56%), menyampaikan kekhawatiran tentang kesehatan reproduksi mereka sendiri atau anggota keluarga.
"Saya telah bekerja di DRC selama 25 tahun dan laki-laki sering kali enggan membahas masalah kesehatan wanita. Namun, laki-laki (di sana) juga mengatakan, 'ada yang salah dengan perempuan kami'," ujar Anneke Van Woudenberg direktur eksekutif Raid.
Dikutip dari The Guardian, kaitan antara penambangan kobalt dan lahir cacat telah dikemukakan dalam sebuah studi Lancet dari tahun 2020. Mereka menemukan risiko cacat lahir meningkat pesat ketika orang tua bekerja di tambang tembaga atau kobalt.
Lebih lanjut, perempuan lebih sering bersentuhan dengan air yang terkontaminasi setiap hari daripada laki-laki, kata Van Woudenberg. Mereka tidak minum air tersebut tetapi mandi di dalamnya, mencuci pakaian, membersihkan rumah, hal-hal yang biasanya dilakukan perempuan.
"Para ahli medis telah memberi tahu kita bahwa ketika tingkat pH air lebih rendah, masalah kandungan lebih mungkin terjadi," lanjut Van Woudenberg.
Raid dan Afrewatch juga meminta unit toksikologi dan lingkungan University of Lubumbashi untuk memeriksa sampel air yang diambil dari Sungai Dipeta, Sungai Katapula, Kalenge dan Dilala-UCK, dan Danau Kando. Ini adalah lima sumber air yang diidentifikasi oleh penduduk setempat bermasalah.
"Sementara penelitian masih berlangsung, hasil awal dari Maret 2024 menunjukkan bahwa pH air untuk semua sungai dan danau yang dinilai rendah," jelas Van Woudenberg.
"Para ilmuwan mengatakan ini adalah tanda yang jelas bahwa badan air tersebut terkena dampak polusi industri yang bersifat asam. Para peneliti ilmiah menilai bahwa, mengingat tingkat keasamannya, sungai-sungai tersebut tidak dapat lagi menampung ikan, dan airnya beracun bagi kesehatan manusia dan hewan," tegasnya.
Van Woudenberg mengatakan Raid telah menyampaikan temuannya kepada perusahaan pertambangan. Sebagai tanggapan, perusahaan tersebut menguraikan komitmen mereka untuk mematuhi undang-undang lingkungan dan audit independen, serta menunjukkan jumlah pompa air bersih yang mereka sediakan bagi penduduk setempat.
"Meskipun hal ini sebagian meringankan kekurangan air bersih yang kronis, penyelidikan kami menemukan bahwa tidak ada perusahaan pertambangan yang menyediakan jumlah titik air minimum yang diwajibkan oleh peraturan DRC. Mereka juga tidak memenuhi pedoman Organisasi Kesehatan Dunia yaitu 20 liter per orang per hari, jumlah minimum yang diwajibkan untuk minum dan kebersihan dasar," terang laporan itu.
Temuan lainnya disampaikan oleh Anaïs Tobalagba legal and policy researcher di Raid. Sebanyak 75% orang yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mampu lagi membayar layanan kesehatan.
"Orang-orang menjadi lebih miskin karena mereka bergantung pada perikanan dan pertanian, tetapi karena airnya sangat tercemar, persediaan ikan berkurang dan tanaman yang ditanam di sepanjang tepian air mulai gagal panen," tutur Tobalagba.
(ask/fay)