Jakarta -
Petani tembakau tegas menolak pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) serta Pengaturan Produk Tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Petani kompak meminta pemerintah membatalkan dan meninjau ulang dua kebijakan yang mengancam keberlangsungan mata pencaharian petani tembakau, karena aturan itu dianggap akan berdampak buruk bagi pendapatan dan lapangan kerja ribuan petani tembakau.
"Kami petani tembakau se-Jawa Timur sedang memperjuangkan sawah ladang kami. Sudah sejak turun-temurun kami mengandalkan tembakau sebagai sumber penghidupan. Kami, tegas menolak aturan-aturan pertembakauan di PP Kesehatan dan RPMK, termasuk pemaksaan standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek. Kurang lebih 370 ribu petani tembakau di Jawa Timur akan jadi korban," ujar Ketua Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPC APTI) Jawa Timur Bondowoso, Yazid dalam keterangannya, dikutip Rabu (16/10/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Bondowoso saat ini terdapat lebih dari 5.000 petani tembakau. Hasil produktivitas petani Bondowoso juga telah diserap oleh 15 industri kecil dan menengah.
Jika peraturan-peraturan pengetatan rokok ini dilakukan, maka dampaknya akan merugikan serapan dari tembakau itu sendiri. Ia mencontohkan seperti memaksakan penerapan kemasan rokok polos, yang dinilai akan rugi karena menurunkan penjualan produk tersebut.
"Kami tidak tahu siapa atau sektor industri mana yang akan menyerap hasil tembakau kami? Identitas tidak jelas. Padahal ada ratusan hektare tanaman tembakau di sini yang menghidupi masyarakat," katanya.
Senada, Ketua DPC APTI Blitar Sunyoto menyebutkan tahun ini hasil panen tembakau melimpah dan kualitasnya yang lebih baik, serta didukung dengan nilai jual yang tinggi di pasar. Ia berharap kondisi ini dapat terus dipertahankan dan membaik ke depannya.
"Kalau pemerintah tidak meninjau ulang PP Kesehatan dan buru-buru merampungkan RPMK-nya, maka, tembakau yang selama ini telah menjadi berkah bagi para petani, pelan-pelan akan musnah. Bagaimana kami bisa bertahan, jika aturan di pusat justru mau membunuh industri yang menyerap hasil pertanian kami?" tegasnya.
Apalagi, tahun ini, petani tembakau di Blitar sedang giat-giatnya menanam tembakau. Luasan lahan tembakau di Blitar mencapai 6.152 hektare (ha).
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Kepala Dinas Perkebunan Jatim, Dydik Rudy Prasetya tak memungkiri bahwa tembakau banyak ditekan dengan berbagi regulasi. Meski, demikian, pihaknya akan terus memperjuangkan keberlangsungan petani dan membela kepentingan masyarakat.
"Kami melihat aturan yang ada saat ini memang lebih banyak pembatasannya. Disbun Jatim akan menjembatani antara petani tembakau dan pemerintah. Kami akan membela petani karena ini berhubungan dengan kepentingan masyarakat," ujarnya.
"Disbun Jatim berusaha mendorong petani dalam meningkatkan kualitas tembakau, bagaimana menanam sesuai jadwal tanam yang tepat. Harapan kami petani lebih baik dan solid dalam mengembangkan tembakau di Jatim," tambah Dydik.
Jawa Timur merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar nasional. Jawa Timur berkontribusi sebesar 51,16% dari total produksi secara nasional sebesar 265.701 ton. Di Jawa Timur, industri pengolahan tembakau menghasilkan cukai sebesar Rp. 104,56 triliun ini atau setara 63,42% dari total penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional. Menurut catatan Dirjen Bea Cukai, di Jawa Timur terdapat 425 perusahaan pengolahan tembakau yang mempekerjakan lebih dari 80.000 tenaga kerja.
Untuk itu petani menolak keras aturan pengetatan produk rokok karena akan merugikan pendapatan dan lapangan kerja petani hingga masyarakat. Petani pun melayangkan sebuah petisi yang beriai sikap petani tembakau.
Pertama, menolak tegas pengaturan terkait pasal-pasal pengamanan zat adiktif dalam PP Kesehatan dan pengaturan produk tembakau di Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) karena merugikan dan mematikan mata pencaharian petani di sentra tembakau nasional.
Kedua, menolak tegas rencana penerapan standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini mempertimbangkan penerapan kemasan polos sangat merugikan para petani tembakau karena harga tembakau akan semakin tidak stabil, yang ujungnya berdampak pada minimnya serapan produksi petani.
Ketiga, meminta Presiden terpilih untuk menghentikan Kementerian Kesehatan melakukan pembahasan aturan-aturan pertembakauan serta wajib melibatkan unsur petani sebagai elemen hulu yang terdampak.
Keempat segala peraturan yang ditujukan di sisi hilir ekosistem tembakau juga memukul petani di sisi hulu, untuk itu setiap penyusunan harus mengakomodir masukan dan unsur petani di setiap sentra pertembakauan di Indonesia.