Jakarta -
Ukraina memutuskan untuk memberhentikan jalur ekspor gas dari Rusia ke Uni Eropa. Keputusan tersebut ditetapkan tepat pada tanggal 1 Januari 2025 pukul 05.00 waktu setempat.
Ketetapan tersebut menuai kekhawatiran sejumlah negara tujuan impor gas asal Rusia. Akan tetapi, ketetapan pemberhentian ekspor gas Rusia melalui pipa di Ukraina disebut tidak akan berdampak langsung pada Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menuturkan, penghentian ekspor gas Rusia melalui Ukraina tidak akan mempengaruhi Indonesia. Menurutnya, dampak terbesar dari ketetapan tersebut akan menyasar negara-negara Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau saya bilang dampak sih dampak langsung tidak ada karena, satu itu gas lewat pipa, dan dari Rusia ya. Tapi ada dampak, saya kira bisa jadi ada dampak tidak langsung (di Eropa)," kata Fabby saat dihubungi detikcom, Kamis (2/1/2025).
Fabby menyebut, dampak pada Indonesia tidak akan signifikan lantaran lebih banyak melakukan ekspor. Menurutnya, impor yang dilakukan Indonesia untuk komoditas gas tidak sebesar negara-negara Eropa. Bahkan, kata Fabby, Indonesia dapat memperoleh keuntungan dari penghentian jalur gas yang dilakukan Ukraina terhadap Rusia.
"Kita lebih banyak ekspor daripada impor. Jadi kalau ada kenaikan harga gas, harusnya Indonesia bisa menikmati juga harga gas yang lebih tinggi tadi. Karena kita ekspor. Tapi kan kita kontraknya, kita banyak kontrak yang jangka panjang. Jadi mungkin tergantung pada kontraknya, seberapa jauh, seberapa besar, misalnya kita bisa mendapatkan profit," jelasnya.
Akan tetapi, Fabby menyayangkan lambatnya pengembangan lapangan gas di Indonesia. Ia menilai, keadaan ini akan mempengaruhi biaya impor gas yang dikhawatirkan meningkat akibat keputusan Ukraina.
Karenanya, Fabby meminta pemerintah untuk mempercepat pengembangan gas pada lapangan-lapangan yang telah dipetakan pemerintah untuk menekan dampak dari risiko kenaikan harga gas ke depan. Selain itu, Fabby menilai pemerintah juga perlu menyiapkan alternatif energi selain gasifikasi dengan energi baru terbarukan (EBT).
"Menurut saya pemerintah perlu meninjau ulang untuk jangka panjang. Rencana untuk meningkatkan penggunaan gas untuk pembangkitan listrik untuk menghindari risiko tadi," jelasnya.
Di sisi lain, Fabby menyebut mayoritas negara Eropa memiliki dampak negatif atas kebijakan tersebut lantaraan tengah memasuki musim dingin, di mana gas menjadi salah satu bahan baku yang dapat melindungi ruangan dari suhu dingin.
Dalam kondisi ini, ia meyakini negara-negara Eropa juga telah menyiapkan pasokan gasnya untuk menghadapi musim dingin. Untuk memenuhi pasokan Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair, Fabby juga meyakini mayoritas negara Eropa telah menetapkan beberapa alternatif negara pemasok gas.
"Kan mereka, negara-negara (Eropa) ini kan biasanya dari awal tahun sampai dengan kira-kira bulan Oktober-November, mereka memang mengisi storage gasnya. Storage gas Eropa itu kalau saya lihat sampai dengan bulan kemarin, Desember itu masih di kisaran 80% dari kapasitasnya. Dan memang biasanya itu dipakai untuk mengantisipasi kebutuhan energi untuk musim dingin," ungkapnya.
"Nah, mengisi lagi itu artinya harus mulai menyediakan kontak-kontak untuk LNG yang lebih mahal. Dan itu mungkin akan dilakukan mulai bulan Januari, Februari," tutupnya.
Diketahui, Ukraina resmi memutus aliran gas Eropa yang melalui wilayahnya mulai 1 Januari lalu. Ekspor gas Rusia melalui jaringan pipa era Soviet, yang mengalir melalui Ukraina dihentikan tepat pukul 05.00 waktu setempat.
Melansir dari Reuters, Kamis (2/1/2025) hal ini menyusul perjanjian transit gas antara Moskwa dan Kyiv yang tak diperpanjang. Hal tersebut juga menandai berakhirnya era pasokan gas Rusia ke Eropa via Ukraina.
Perusahaan Gas Rusia Gazprom penghentian rute gas ini tidak akan berdampak pada harga bagi konsumen di Uni Eropa. Kondisi ini berbeda dengan 2022 lalu saat perang Rusia Ukraina dimulai dan Moskow dikenakan sanksi.
Saat itu pasokan gas Rusia menurun drastis karena menjadi alat pembalasan dendam Rusia. Alhasil, menyebabkan harga menyentuh rekor tertinggi, memperburuk krisis biaya hidup, hingga memukul daya saing blok tersebut.
(rrd/rrd)